Suatu hari sekelompok orang perantauan datang ke
tempat tersebut. Mulanya mereka hanya bermaksud untuk sekedar melintas dan
beristirahat sejenak. Saat mereka beristirahat, mereka dikejutkan oleh
sebuah pemandangan yang sangat memukau. Tumpukan emas yang sangat banyak di
hadapan mereka. Melihat emas yang sangat banyak itu, mereka seolah terhipnotis
mendekat, mengamati, dan meraba emas-emas itu. Semua terpesona dan seolah tidak
percaya. Seumur hidup belum pernah mereka melihat emas sebanyak itu.
Mereka semua kebingungan. Apa yang harus mereka
lakukan terhadap emas itu? Dijual? Dipakai atau diamankan saja? Karena bingung
tidak tahu emas tersebut mau diapakan dan karena takut terjadi perselisihan di
antara mereka, mereka pun mengadakan sidang untuk membahas penggunaan emas
tersebut.
“Saudara-saudara, kita berkumpul di sini bermaksud
untuk merundingkan sesuatu yang sangat penting. Kalau tidak kita rundingkan,
saya khawatir akan berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan kita semua,” ucap
salah satu dari mereka memulai pembicaraan.
”Saudara-saudaraku, seperti telah kita ketahui bersama, kita hadir di tempat ini semula hanya untuk beristirahat. Kemudian kita mendapatkan sesuatu yang sangat mengejutkan, yakni setumpuk emas. Tumpukan emas ini tidak terhingga nilainya. Tumpukan emas ini tentunya sesuatu anugerah bagi kita semua kalau kita bisa mengelolahnya sedemikian rupa. Sekarang kita butuh kesepakatan bersama, mau kita apakan emas-emas ini,” lanjutnya.
”Saudara-saudaraku, seperti telah kita ketahui bersama, kita hadir di tempat ini semula hanya untuk beristirahat. Kemudian kita mendapatkan sesuatu yang sangat mengejutkan, yakni setumpuk emas. Tumpukan emas ini tidak terhingga nilainya. Tumpukan emas ini tentunya sesuatu anugerah bagi kita semua kalau kita bisa mengelolahnya sedemikian rupa. Sekarang kita butuh kesepakatan bersama, mau kita apakan emas-emas ini,” lanjutnya.
Selama sidang berlangsung, berbagai pendapat dan
saran pun dikumpulkan. Akhirnya disepakati bahwa emas-emas itu didiamkan pada
tempatnya.
“Saudaraku, terima kasih akhirnya kita bisa membuat
keputusan yang bijak bahwa emas itu kita biarkan saja. Akan tetapi, kita tidak
bisa membiarkannya begitu saja. Bisa saja emas ini diambil oleh tangan-tangan
yang tidak bertanggung jawab. Saya punya usul, untuk menjaga emas ini,
bagaimana kalau kita bermukim di sini. Selain menjaga emas ini, tempat ini juga
memang layak untuk kita huni bersama. Saya yakin kehidupan kita akan lebih baik
jika kita tinggal di sini.
“Saya setuju,’ jawab salah satu dari mereka.
“Saya setuju,’ jawab salah satu dari mereka.
“Saya juga setuju,” jawab yang lain.
“Kami setuju,” jawab beberapa peserta siding secara
bersamaan.
Akhirnya disepakatilah bahwa mereka menetap di tempat tersebut.
Kehidupan mereka saat itu sangat unik. Mereka menanamkan jalan hidup yang sangat lurus. Sikap mereka sangat hebat, antara lain dalam hal menolong sesama, tidak mengganggu orang lain, dan menjaga kepentingan barsama. Sikap masyarakat tersebut sangat patut diacungi jempol.
Akhirnya disepakatilah bahwa mereka menetap di tempat tersebut.
Kehidupan mereka saat itu sangat unik. Mereka menanamkan jalan hidup yang sangat lurus. Sikap mereka sangat hebat, antara lain dalam hal menolong sesama, tidak mengganggu orang lain, dan menjaga kepentingan barsama. Sikap masyarakat tersebut sangat patut diacungi jempol.
Seiring dengan perjalanan waktu pemukiman itu terus
dihuni oleh manusia hingga kini. Sampai sekarang orang meyakini bahwa emas itu
masih ada. Akan tetapi, ada beberapa kepercayaan yang muncul. Pertama, mereka
percaya hanya orang-orang yang memiliki tuah (kekuatan gaib) yang bisa
melihatnya. Kedua, ada juga yang mengatakan bahwa emas itu sekarang terkubur di
dalam tanah. Sebagai buktinya, saat ini setiap warga yang menggali sumur,
mereka akan mendapatkan serbuk dan lempengan batu menyerupai emas.
Karena di tempat tersebut pernah terjadi persidangan
emas, mereka sepakat memberi nama mereka tempat tinggal mereka dengan nama
Sidang Emas. Desa Sidang Emas terdapat di Kecamatan Banyuasin III.
2. PUTRI BIYUKU
Pada zaman dahulu, di sebuah hutan berdirilah sebuah kerajaan yang sangat megah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang selalu bertindak semena-mena. Ia selalu berbuat tidak adil dan senantiasa mementingkan dirinya sendiri. Karena itu, rakyat sangat membenci rajanya. Akan tetapi, dia mempunyai isteri yang sangat baik hati dan selalu patuh pada perintahnya. Sang istri memahami bahwa raja bersikap dan berperilaku buruk dikarenakan raja sangat menginginkan keturunan. Setelah sekian lama menikah, mereka belum dikaruniai anak satu pun. Istrinya merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya.
Pada zaman dahulu, di sebuah hutan berdirilah sebuah kerajaan yang sangat megah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang selalu bertindak semena-mena. Ia selalu berbuat tidak adil dan senantiasa mementingkan dirinya sendiri. Karena itu, rakyat sangat membenci rajanya. Akan tetapi, dia mempunyai isteri yang sangat baik hati dan selalu patuh pada perintahnya. Sang istri memahami bahwa raja bersikap dan berperilaku buruk dikarenakan raja sangat menginginkan keturunan. Setelah sekian lama menikah, mereka belum dikaruniai anak satu pun. Istrinya merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya.
Suatu
hari istri raja jatuh sakit. Raja begitu mencemaskan keadaan isteri
karena ia sangat mencintai istrinya. Raja pun memanggil tabib kerajaan untuk
memeriksa istrinya. Setelah memeriksa keadaan istri raja, tabib kerajaan
mengucapkan selamat kepada Raja. Ternyata, istri raja tidak sakit, melainkan
sedang hamil. Raja begitu terkejut mendengar kehamilan istrinya. Tentu saja
raja menjadi sangat senang karena dia akan mempunyai keturunan. Raja merayakan
kegembiraannya dengan mengadakan pesta besar-besaran bersama rakyatnya. Semua
orang bahagia dalam pesta itu.
Selama Istrinya hamil, raja semakin menyayangi istrinya. Hampir setiap hari raja
memegang perut istrinya. Ia seakan tidak sabar menanti kelahiran anaknya dan ia
sangat menginginkan anak laki-laki. Semua persiapan untuk kelahiran
dipersiapkan oleh dayang-dayang kerajaan.
Hari
yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Semua rakyat berkumpul untuk
menyaksikan calon pemimpin mereka. Raja begitu terkejut dan kecewa bahwa yang
lahir adalah perempuan dan bukan laki-laki, tetapi raja tidak ingin merusak
kebahagian istri dan rakyatnya. Raja menyadari harus bersyukur walaupun anak
yang dilahirkan istrinya tidak seperti yang diinginkannya selama ini. Raja
menamai anak perempuannya Putri Biyuku. Putri Biyuku artinya putri kura-kura
karena pada saat putri dilahirkan muncul segerombolan kura-kura yang sangat
besar di luar istana. Kura-kura itu ikut menanti kelahiran Putri Biyuku.
Setelah Putri Biyuku lahir, segerombolan kura-kura itu pun pergi
meninggalkan kerajaan.
Setelah
anaknya lahir, sikap dan perilaku raja berubah. Raja itu menjadi yang adil,
bijaksana, dan selalu mementingkan kemakmuran rakyatnya. Perubahan sikap raja
itu disebabkan ia telah dikaruniai keturunan yang sangat cantik jelita. Putri
Biyuku sangat dimanja oleh kedua orangtuanya.
Seiring
bertambahnya waktu, Putri Biyuku tumbuh menjadi gadis remaja. Tidak disangka-disangka,
Putri Biyuku mewarisi sifat-sifat buruk ayahnya. Raja juga tidak tinggal diam,
dia terus berusaha agar anaknya dapat mengubah sifat buruknya.
Suatu
hari raja membuat sayembara untuk mencarikan jodoh anaknya. Raja berharap Putri
Biyuku akan mengubah sifatnya. Banyak laki-laki yang mengikuti seyembara
tersebut. Akan tetapi, selain menolak, Putri Biyuku juga menghina semua
laki-laki yang berminat dengannya. Hingga suatu hari datanglah seorang pemuda
yang mukanya sangat buruk dan dari golongan orang miskin. Pemuda itu datang ke
kerajaan untuk mengikuti sayembara. Perlakuan yang sama juga didapatkannya.
Bukan hanya cacian tapi juga pukulan diterima oleh pemuda itu. Tiba-tiba sosok
pemuda itu berubah jadi pemuda yang sangat tampan. Ternyata, pemuda itu adalah
seorang pangeran yang sengaja turun ke bumi untuk menyadarkan Putri Biyuku atas
semua perilaku buruknya. Perbuatan buruk Putri Biyuku tidak dimaafkan
lagi. Pangeran pun menyihir Putri Biyuku menjadi kura-kura.
Raja sangat sedih melihat anak yang
sangat disayanginya telah berubah menjadi kura-kura. Namun, apa daya, raja
tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha mengikhlaskannya. Putri Biyuku pun
pergi ke sungai yang ada di dalam hutan dan tidak kembali lagi untuk
selama-lamanya. Karena begitu sayang dengan putrinya dan untuk mengenang Putri
3. TIGE BONGKOL
Zaman dahulu di sebuah desa tinggallah satu keluarga. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya. Suatu hari sang ayah pulang membawa sedikit ketan. Sang ayah meminta istrinya agar ketan yang dibawanya dibuat bongkol (lepet) karena ia sangat ingin memakan bongkol.
Zaman dahulu di sebuah desa tinggallah satu keluarga. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya. Suatu hari sang ayah pulang membawa sedikit ketan. Sang ayah meminta istrinya agar ketan yang dibawanya dibuat bongkol (lepet) karena ia sangat ingin memakan bongkol.
Ketika suaminya pergi ke sawah, sesuai permintaan, ibu membuat bongkol ketan.
Karena ketannya sangat sedikit, bongkol yang dibuat hanya jadi tiga buah
bongkol. Setelah matang, bongkol tersebut disimpannya dalam lemari.
Ketika anaknya pertamanya terbangun dari tidur, ia langsung menuju ke dapur karena ia mencium aroma yang sedap dari dapur. Ia mencium aroma bongkol.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak,” jawab ibu. Ibu berbohong karena bongkol yang dibuatnya untuk ayahnya.
“Mak, minta bongkol!”
“Tak katek, Nak,” jawab ibunya kembali berbohong.
Anaknya tidak percaya dan menangis meminta bongkol. Karena tidak tega, ibunya pun memberikan anak pertamanya satu bongkol.
“Tapi, jangan ngomong dengan adekmu, ye!” pesan ibuya sebelum anak pertamanya pergi. Setelah sampai di kamar, si kakak melihat adik keduanya bangun.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar kakaknya.
Mendengar kata-kata kakaknya, anak kedua tersebut langsung pergi ke dapur menemui ibunya.
“Mak, aku nak bongkol,”
“Tak katek , nak,”
Anak kedua pun menangis karena tidak diberi bongkol. Tidak tega melihat anaknya menangis, si ibu pun memberi anak keduanya bongkol.
“Setengah bae ye, nak,” jawab ibu sambil memberikan separuh bongkol. Akan tetapi, anak keduanya tetap menangis. Ibu pun terpaksa memberikan satu bongkol.
“Jangan ngomong dengan adekmu, ye,” pesan ibunya sebelum anak kedua itu pergi. Setelah sampai di kamar, anak kedua memberi tahu kepada adiknya.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar anak kedua pada anak ketiga. Mendengar kata-kata kakaknya, ia langsung pergi menemui ibunya.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak.”
Anak ketiga pun menangis. Karena tidak tega ibu kembali memberi anaknya bongkol.
“Nak setengah bae, ye. Agek bakmu marah,”
Anak ketiganya tidak mau dan terus menangis. Ibunya pun akhirnya memberikan bongkol terakhir kepada anak ketiganya.
Pulang dari sawah sang ayah langsung menanyakan bongkol yang dibuat istrinya. Istrinya memberitahu dengan sangat hati-hati dan memohon maaf karena bongkol yang dibuatnya telah dimakan ketiga anak mereka. Sang ayah sangat marah. Karena dikuasai kemarahannya, ayah itu berniat dalam hati untuk membunuh anaknya.
“Nak, payo tobo ke utan,” ajak si ayah kepada ketiga anaknya. Ketiga anaknya sangat senang diajak ke hutan. Tidak lupa ayahnya membawa cangkul.
“Bak, nak nanam ape?” tanya ketiga anaknya.
“Nak nanam manggo,” jawab ayah.
Tiba di hutan, ayahnya langsung menggali lubang yang sangat besar dan dalam. Selesai digali. sang ayah menyuruh ketiga anaknya berbaris mengadap lubang. Tiba-tiba, ayahnya mendorong ketiga anaknya ke dalam lubang dan langsung menimbunnya dengan tanah. Setelah itu, sang ayah pulang ke rumah meninggalkan ketiga anaknya yang telah terkubur.
Ternyata, anak ketiganya membawa pisau. Tanah itu pun mereka tusuk-tusuk menggunakan pisau hingga berlubang. Dari lubang yang mereka buat mereka bertiga berhasil keluar. Mereka tidak berani pulang karena takut takut dimarahi ayah mereka.
Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan hingga mereka menemukan satu pondok. Merasa sangat kelelahan, mereka menghampiri pondok tersebut. Mereka berkenalan dengan pemilik pondok. Ternyata, pondok tersebut milik nenek gergasi (raksasa).
“Boleh tak kamek numpang di sini, Nek?” tanya ketiga anak iu.
“Boleh, tapi harus nyari tumo nenek.”
Mereka pun tinggal bersama nenek gergasi. Setiap hari mereka harus mencari kutu di kepala nenek. Mereka menggunakan palu dan paku sewaktu mencari kutu di kepala nenek karena kutu nenek bukan kutu biasa, melainkan kelabang dan rambut nenek bukanlah rambut biasa, melainkan kawat.
Setiap malam ketiga anak itu selalu ditanya nenek, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak pertama.
Mendengar jawaban anak pertama, nenek gergasi beralih ke anak kedua, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,’ jawab anak kedua.
Setelah itu nenek beralih ke anak ketiga, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak ketiga. Jawaban yang diberi anak ketiga diberitahu kedua kakaknya.
Siang itu anak pertama mengajak kedua adiknya untuk membunuh nenek gergasi. Mereka tidak tahan ditanyai setiap malam. Mereka juga takut dimakan nenek gergasi karena mereka tahu nenek gergasi akan memakan hati mereka ketika hati mereka sudah membesar.
“Kau masak banyu dan kau ecak-ecak ngembek suri di bawah. Kagek aku nyari tumo,” ujar nak pertama meberi tugas kepada adik-adiknya. Kedua adiknya setuju usul kakaknya.
Tiba waktunya, rencana pun dilaksanakan. Sesuai rencana, anak ketiga memasak air dan anak kedua menjatuhkan sisir ke tanah.
“Nek, aku nak ngambek suri nyampak,”
Sampai di bawah anak kedua menarik rambut nenek gergasi yang terselip di sela-sela papan. Anak ketiga nenyiram air panas yang telah dimasak ke tubuh nenek gergasi. Nenek gergasi pun meninggal.
Setelah nenek gergasi meninggal, mereka bertiga tetap tinggal di rumah nenek gergasi.
Ketika anaknya pertamanya terbangun dari tidur, ia langsung menuju ke dapur karena ia mencium aroma yang sedap dari dapur. Ia mencium aroma bongkol.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak,” jawab ibu. Ibu berbohong karena bongkol yang dibuatnya untuk ayahnya.
“Mak, minta bongkol!”
“Tak katek, Nak,” jawab ibunya kembali berbohong.
Anaknya tidak percaya dan menangis meminta bongkol. Karena tidak tega, ibunya pun memberikan anak pertamanya satu bongkol.
“Tapi, jangan ngomong dengan adekmu, ye!” pesan ibuya sebelum anak pertamanya pergi. Setelah sampai di kamar, si kakak melihat adik keduanya bangun.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar kakaknya.
Mendengar kata-kata kakaknya, anak kedua tersebut langsung pergi ke dapur menemui ibunya.
“Mak, aku nak bongkol,”
“Tak katek , nak,”
Anak kedua pun menangis karena tidak diberi bongkol. Tidak tega melihat anaknya menangis, si ibu pun memberi anak keduanya bongkol.
“Setengah bae ye, nak,” jawab ibu sambil memberikan separuh bongkol. Akan tetapi, anak keduanya tetap menangis. Ibu pun terpaksa memberikan satu bongkol.
“Jangan ngomong dengan adekmu, ye,” pesan ibunya sebelum anak kedua itu pergi. Setelah sampai di kamar, anak kedua memberi tahu kepada adiknya.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar anak kedua pada anak ketiga. Mendengar kata-kata kakaknya, ia langsung pergi menemui ibunya.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak.”
Anak ketiga pun menangis. Karena tidak tega ibu kembali memberi anaknya bongkol.
“Nak setengah bae, ye. Agek bakmu marah,”
Anak ketiganya tidak mau dan terus menangis. Ibunya pun akhirnya memberikan bongkol terakhir kepada anak ketiganya.
Pulang dari sawah sang ayah langsung menanyakan bongkol yang dibuat istrinya. Istrinya memberitahu dengan sangat hati-hati dan memohon maaf karena bongkol yang dibuatnya telah dimakan ketiga anak mereka. Sang ayah sangat marah. Karena dikuasai kemarahannya, ayah itu berniat dalam hati untuk membunuh anaknya.
“Nak, payo tobo ke utan,” ajak si ayah kepada ketiga anaknya. Ketiga anaknya sangat senang diajak ke hutan. Tidak lupa ayahnya membawa cangkul.
“Bak, nak nanam ape?” tanya ketiga anaknya.
“Nak nanam manggo,” jawab ayah.
Tiba di hutan, ayahnya langsung menggali lubang yang sangat besar dan dalam. Selesai digali. sang ayah menyuruh ketiga anaknya berbaris mengadap lubang. Tiba-tiba, ayahnya mendorong ketiga anaknya ke dalam lubang dan langsung menimbunnya dengan tanah. Setelah itu, sang ayah pulang ke rumah meninggalkan ketiga anaknya yang telah terkubur.
Ternyata, anak ketiganya membawa pisau. Tanah itu pun mereka tusuk-tusuk menggunakan pisau hingga berlubang. Dari lubang yang mereka buat mereka bertiga berhasil keluar. Mereka tidak berani pulang karena takut takut dimarahi ayah mereka.
Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan hingga mereka menemukan satu pondok. Merasa sangat kelelahan, mereka menghampiri pondok tersebut. Mereka berkenalan dengan pemilik pondok. Ternyata, pondok tersebut milik nenek gergasi (raksasa).
“Boleh tak kamek numpang di sini, Nek?” tanya ketiga anak iu.
“Boleh, tapi harus nyari tumo nenek.”
Mereka pun tinggal bersama nenek gergasi. Setiap hari mereka harus mencari kutu di kepala nenek. Mereka menggunakan palu dan paku sewaktu mencari kutu di kepala nenek karena kutu nenek bukan kutu biasa, melainkan kelabang dan rambut nenek bukanlah rambut biasa, melainkan kawat.
Setiap malam ketiga anak itu selalu ditanya nenek, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak pertama.
Mendengar jawaban anak pertama, nenek gergasi beralih ke anak kedua, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,’ jawab anak kedua.
Setelah itu nenek beralih ke anak ketiga, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak ketiga. Jawaban yang diberi anak ketiga diberitahu kedua kakaknya.
Siang itu anak pertama mengajak kedua adiknya untuk membunuh nenek gergasi. Mereka tidak tahan ditanyai setiap malam. Mereka juga takut dimakan nenek gergasi karena mereka tahu nenek gergasi akan memakan hati mereka ketika hati mereka sudah membesar.
“Kau masak banyu dan kau ecak-ecak ngembek suri di bawah. Kagek aku nyari tumo,” ujar nak pertama meberi tugas kepada adik-adiknya. Kedua adiknya setuju usul kakaknya.
Tiba waktunya, rencana pun dilaksanakan. Sesuai rencana, anak ketiga memasak air dan anak kedua menjatuhkan sisir ke tanah.
“Nek, aku nak ngambek suri nyampak,”
Sampai di bawah anak kedua menarik rambut nenek gergasi yang terselip di sela-sela papan. Anak ketiga nenyiram air panas yang telah dimasak ke tubuh nenek gergasi. Nenek gergasi pun meninggal.
Setelah nenek gergasi meninggal, mereka bertiga tetap tinggal di rumah nenek gergasi.
4.PUTRI LILIN
ZAMAN dahulu di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri. Istrinya sedang mengandung anak pertama mereka. Suatu hari suaminya hendak pergi ke dusun seberang.
ZAMAN dahulu di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri. Istrinya sedang mengandung anak pertama mereka. Suatu hari suaminya hendak pergi ke dusun seberang.
“Dek, aku nak pegi ke dusun seberang. Aku nak bepesan dengan kau,” ucap
suaminya
“Ape Kak pesannya tuh?”
“Agek, kalu anak kite lahir jantan kau peliharalah die beek-beek, tapi kalu lahir betine cepat-cepatlah kau kubur die di bawah tangge. Sikok lagi Dek pesanku, lelen (lilin) yang aku tinggalke jangan kau makan!”
“Ngape Kak, mak itu nian?”
“Udelah dak usah banyak nanye.
“Men cak itu, iyo kak aku janji.”
Setelah menyampaikan pesan yang terdengar sangat aneh, suaminya pun pergi. Sepeninggal suaminya, istrinya kembali mengingat pesan yang telah disampaikan suaminya.
Suatu pagi ia sangat ingin makan lilin, tetapi ia ingat pesan suaminya. Ia tidak berani melawan pesan suaminya. Akan tetapi, entah mengapa keinginan dalam dirinya sangat kuat memaksa ia agar memakan lilin. Ia pun memakan lilin yang ditinggalkan suaminya.
Setelah cukup usia kandungannya, istrinya melahirkan. Ternyata, ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia memberi nama anaknya Putri Lelen. Ia langsung ingat pesan suaminya. Tentu saja sebagai ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan anaknya, tidak mungin ia tega membunuh dan mengubur anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Untuk menyelamatkan anaknya, ia membangun sebuah mahligai. Diletakkannya anaknya di atas mahligai. Sekian lama tumbuhlah Putri Lelen menjadi gadis yang cantik.
Suatu hari suaminya pulang dari merantau. Ketika pulang, ia langsung menanyakan anaknya .
“Dek, cak mane dengan anak kite?”
“Cak kate kakak. Men lahirnya betine, langsung dikuburke di bawah tangge. Jadi, anak kite sudem kukuburke,” ucap istrinya gugup.
“Lelen yang kutinggalke, mane?”
“Ade kak, aku simpan.”
Mendengar jawaban istrinya, legalah hati suaminya. Ia pun masuk ke dalam dan beristiahat.
Suatu hari saat suaminya sedang beristirahat di depan rumah, tiba-tiba datanglah seekor gagak. Gagak sangat sakit hati dengan istrinya karena ia tidak pernah diberi makan. Istrinya mempunyai kebiasaan suka memberi makan burung-burung. Ia tidak tahu kalau burung gagak tidak pernah kebagian makanan. Burung gagak pun bertembang,
“Gak gak bute,
burung benyak diberek makan.
Gagak sikok ketinggalan,
Putri lelen di atas mahligai”
Berkali-kali burung gagak bertembang dan didengarlah oleh suaminya. Suaminya langsung memanggil istrinya.
“Oi Dek, jadi, selame ini kau mbudike aku. Putriku maseh idop. Sekarang suruh die turun dari atas mahligai,” hardik suaminya dengan marah.
Karena takut, istrinya menuruti kehendak suaminya. Dia pun memanggil anaknya sambil nangis dan bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak bebaju.” Jawab Putri Lelen.
Ibunya kembali bertembang meminta anaknya turun.
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak beseser,” Jawab putrinya.
Ibunya kembali bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
Setelah selesai perpakaian dan berisir, turunlah Putri Lelen dari atas mahligai.
“Oi Nak, Mak minta maaf ye. Bakmu tak senang dengan kau. Umak dak pacak nak nak nolong.”
“Iye Mak, aku ikhlas asakke Bak pacak senang ati.”
“Nak kau turun ke kawah itu. Bakmu nak meleburmu jedi lelen.”
Berjalanlah Putri lelen menuju kawah sambil menangis. Perlahan ia memasukkan dirinya ke dalam kawah. Ia pun bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas lututku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas lutut. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas pinggangku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas pinggang. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas palakku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas kepala. Badan Putri pun semakin hancur hingga yang tersisa rambutnya. Melihat tubuh anaknya sudah hancur ibunyapun tidak tega dan segera menyusul. Ia menyusul anaknya masuk ke dalam kawah. Berubahlah ibu dan anak menjadi dua batang lilin.
Melihat anak dan istrinya telah berubah menjadi lelen, suaminya pun menyesal. Apa boleh buat. Anak dan istrinya tidak mungkin berubah lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
a takut dimakan nenek gergasi
karena mereka tahu nenek gergasi akan memakan hati mereka ketika hati mereka
sudah membesar.“Ape Kak pesannya tuh?”
“Agek, kalu anak kite lahir jantan kau peliharalah die beek-beek, tapi kalu lahir betine cepat-cepatlah kau kubur die di bawah tangge. Sikok lagi Dek pesanku, lelen (lilin) yang aku tinggalke jangan kau makan!”
“Ngape Kak, mak itu nian?”
“Udelah dak usah banyak nanye.
“Men cak itu, iyo kak aku janji.”
Setelah menyampaikan pesan yang terdengar sangat aneh, suaminya pun pergi. Sepeninggal suaminya, istrinya kembali mengingat pesan yang telah disampaikan suaminya.
Suatu pagi ia sangat ingin makan lilin, tetapi ia ingat pesan suaminya. Ia tidak berani melawan pesan suaminya. Akan tetapi, entah mengapa keinginan dalam dirinya sangat kuat memaksa ia agar memakan lilin. Ia pun memakan lilin yang ditinggalkan suaminya.
Setelah cukup usia kandungannya, istrinya melahirkan. Ternyata, ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia memberi nama anaknya Putri Lelen. Ia langsung ingat pesan suaminya. Tentu saja sebagai ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan anaknya, tidak mungin ia tega membunuh dan mengubur anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Untuk menyelamatkan anaknya, ia membangun sebuah mahligai. Diletakkannya anaknya di atas mahligai. Sekian lama tumbuhlah Putri Lelen menjadi gadis yang cantik.
Suatu hari suaminya pulang dari merantau. Ketika pulang, ia langsung menanyakan anaknya .
“Dek, cak mane dengan anak kite?”
“Cak kate kakak. Men lahirnya betine, langsung dikuburke di bawah tangge. Jadi, anak kite sudem kukuburke,” ucap istrinya gugup.
“Lelen yang kutinggalke, mane?”
“Ade kak, aku simpan.”
Mendengar jawaban istrinya, legalah hati suaminya. Ia pun masuk ke dalam dan beristiahat.
Suatu hari saat suaminya sedang beristirahat di depan rumah, tiba-tiba datanglah seekor gagak. Gagak sangat sakit hati dengan istrinya karena ia tidak pernah diberi makan. Istrinya mempunyai kebiasaan suka memberi makan burung-burung. Ia tidak tahu kalau burung gagak tidak pernah kebagian makanan. Burung gagak pun bertembang,
“Gak gak bute,
burung benyak diberek makan.
Gagak sikok ketinggalan,
Putri lelen di atas mahligai”
Berkali-kali burung gagak bertembang dan didengarlah oleh suaminya. Suaminya langsung memanggil istrinya.
“Oi Dek, jadi, selame ini kau mbudike aku. Putriku maseh idop. Sekarang suruh die turun dari atas mahligai,” hardik suaminya dengan marah.
Karena takut, istrinya menuruti kehendak suaminya. Dia pun memanggil anaknya sambil nangis dan bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak bebaju.” Jawab Putri Lelen.
Ibunya kembali bertembang meminta anaknya turun.
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak beseser,” Jawab putrinya.
Ibunya kembali bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
Setelah selesai perpakaian dan berisir, turunlah Putri Lelen dari atas mahligai.
“Oi Nak, Mak minta maaf ye. Bakmu tak senang dengan kau. Umak dak pacak nak nak nolong.”
“Iye Mak, aku ikhlas asakke Bak pacak senang ati.”
“Nak kau turun ke kawah itu. Bakmu nak meleburmu jedi lelen.”
Berjalanlah Putri lelen menuju kawah sambil menangis. Perlahan ia memasukkan dirinya ke dalam kawah. Ia pun bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas lututku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas lutut. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas pinggangku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas pinggang. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas palakku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas kepala. Badan Putri pun semakin hancur hingga yang tersisa rambutnya. Melihat tubuh anaknya sudah hancur ibunyapun tidak tega dan segera menyusul. Ia menyusul anaknya masuk ke dalam kawah. Berubahlah ibu dan anak menjadi dua batang lilin.
Melihat anak dan istrinya telah berubah menjadi lelen, suaminya pun menyesal. Apa boleh buat. Anak dan istrinya tidak mungkin berubah lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
“Kau masak banyu dan kau ecak-ecak ngembek suri di bawah. Kagek aku nyari tumo,” ujar nak pertama meberi tugas kepada adik-adiknya. Kedua adiknya setuju usul kakaknya.
Tiba waktunya, rencana pun dilaksanakan. Sesuai rencana, anak ketiga memasak air dan anak kedua menjatuhkan sisir ke tanah.
“Nek, aku nak ngambek suri nyampak,”
Sampai di bawah anak kedua menarik rambut nenek gergasi yang terselip di sela-sela papan. Anak ketiga nenyiram air panas yang telah dimasak ke tubuh nenek gergasi. Nenek gergasi pun meninggal.
Setelah nenek gergasi meninggal, mereka bertiga tetap tinggal di rumah nenek gergasi.
5.PUYANG PERAHU KAWAH
Pada zaman dahulu, di masa penjajahan Belanda, di hulu sungai Musi terdapat sebuah kampung yang penduduknya telah beragama Islam. Kampung itu bernama Benakat. Di kampung itu hiduplah satu keluarga ketib (tokoh agama Islam). Keluarga ketib ini memiliki satu anak perempuan yang beranjak dewasa bernama Ayu yang sangat cantik jelita.
Suatu hari lewatlah seorang opsir Belanda di kampung
Benakat. Secara kebetulan opsir bertemu Ayu. Melihat kecantikan Ayu, opsir
langsung tertarik.
Pada zaman dahulu, di masa penjajahan Belanda, di hulu sungai Musi terdapat sebuah kampung yang penduduknya telah beragama Islam. Kampung itu bernama Benakat. Di kampung itu hiduplah satu keluarga ketib (tokoh agama Islam). Keluarga ketib ini memiliki satu anak perempuan yang beranjak dewasa bernama Ayu yang sangat cantik jelita.
“Alangkah
cantiknya gadis ini. Gadis secantik ini tidak akan akan aku sia-siakan. Aku
harus mendapatkan gadis ini,” katanya dalam hati.
Mengetahui Ayu
anak seorang ketib, datanglah opsir Belanda kepada ketib. Dengan percaya diri
yang tinggi, ia langsung mengemukakan maksud kedatangannya, yakni untuk
meminang Ayu dan akan dijadikan selir. Opsir tidak mengetahui bahwa ketib
sangat membenci Belanda. Pinangan opsir, langsung ditolak oleh ketib.
Akibatnya, opsir Belanda menjadi marah besar. Ia mengancam dengan menggunakan
kekuasaannya. Isi ancamannya sangat membuat hati kecut siapa pun yang
mendengarnya. Opsir memberi batas waktu kepada ketib untuk mempertimbangkan
lamarannya. Bila batas waktu yang ditentukan, ketib masih tetap menolak
pinangannya, opsir mengancam akan membunuh semua keluarga ketib, tanpa kecuali.
Demi
keselamatan keluarganya, sebelum batas waktu yang ditentukan tiba, pergilah
ketib bersama keluarganya meninggalkan kampung Benakat. Dengan kesaktian yang
dimilikinya, ketib membawa istri dan anaknya Ayu menaiki sebuah kawah besar
yang terbuat dari besi (wajan besi untuk memasak nasi) sebagai perahu. Kawah tersebut
terus hanyut hingga ke hilir mengikuti arus Sungai Musi.
Beberapa hari
lamanya terombang- ambing mengikuti arus sungai, terdamparlah mereka di sebuah
hutan di pinggiran Sungai Musi. Karena diangggap aman, menetaplah mereka di
hutan tersebut. Hutan tersebut belum ada penghuninya. Pada saat itu hidup
mengasingkan diri seperti yang mereka lakukan disebut ngelebung. Suatu hari tersesatlah seorang pemuda dan tiba di
tempat tinggal ketib. Pemuda tersebut berasal dari Palembang. Ia
melarikan diri dari kejaran Belanda. Ia pun menetap di tempat tersebut hingga
bertahun-tahun.
Setelah
beberapa tahun mengenal Ayu dan keluarganya, pemuda tersebut memberanikan diri
melamar Ayu. Lamarannya diterima dengan senang hati oleh keluarga ketib.
Pernikahan pun dilaksanakan. Dari pernikahan
mereka lahirlah cucu-cucu ketib, yaitu empat orang anak laki-laki yang bernama
Urip, Sirah, Waras, dan Teladan, serta satu perempuan yang bernama Untung.
Setelah cucunya
beranjak dewasa, ketib memerintahkan keempat cucunya yang laki-laki untuk
pergi dari Ngelebung dan merantau, mencari penghidupan ke tempat lain. Semua
cucunya melaksanakan perintah kakeknya. Urip pergi ke arah utara, Sirah ke arah
barat, Teladan menyelusuri sungai menuju ke hulu, yaitu ke arah Desa Rantau
Bayur, dan Waras juga menyelusuri ke hulu, yaitu ke arah Sungai Keruh Musi
Banyuasin. Cucu perempuan satu-satunya, yaitu Untung tetap tinggal dan
menemukan jodohnya di tempat tersebut.
Untung
dan suaminya memperluas wilayah tempat tinggal mereka sampai ke suatu sungai yang
diberi nama Rimba Bulian. Sejak itulah tempat yang menjadi tempat tinggal Ketib
dan keluarganya dinamakan Ngelebung. Lama-kelamaan
penduduk Ngelebung bertambah banyak dan berkembanglah menjadi sebuah kampung
yang akhirnya menjadi sebuah dusun bernama Lebung. Dusun Lebung sekarang
lebih dikenal dengan nama Desa Lebung. Karena kesaktian ketib membuat kawah
menjadi perahu sebagai kendaraan, ia kemudian dikenal dengan sebutan “Puyang
Perahu Kawah6. ASAL USUL PANGKALAN PANJI
Dahulu kala
di sebuah hutan belantara, tinggallah seorang pemuda yang sangat tampan dan
baik hati. Pemuda itu tinggal bersama kakeknya di dalam rumah yang sangat
sederhana yang beratap daun rumbia, dan berdinding papan. Kedua orang
tuannya telah tiada. Kakeknyalah yang merawatnya sejak kecil. Pemuda itu
bernama Panji. Sang kakek
memiliki ilmu bela diri dan juga memiliki kesaktian. Di bawah asuhan sang
kakek, Panji diajarkan ilmu bela diri. Ia juga diajarkan hidup disiplin
dan tidak sombong sebagai manusia. Bahkan, semua kesaktian yang dimiliki sang
kakek pun diturunkannya kepada Panji karena sang kakek yakin Panji tidak akan
menyalahgunakan ilmu yang telah diberikannya. Seiring bertambahnya waktu, Panji
semakin mantap dengan ilmu yang diberikan sang kakek dan ia telah
menguasai semua ilmu yang diajarkan sang kakek.
Seiring
bertambahnya waktu, Kakek pun semakin bertambah umurnya. Tubuhnya semakin renta
dan pandangannya pun sudah kabur dan sakit-sakitan.Hari itu sang kakek
memanggil Panji.
“Panji
cucuku, kemarilah!”
“Iya, Kek.
Aku di sini.” Panji mendekat dan memegang tubuh kakek.
“Panji
cucuku, kakek sudah tua dan tidak ada lagi yang bisa kakek berikan kepadamu,
mungkin umur kakek tinggal sebentar lagi.”
“Kakek!”
ucap Panji dengan lirih.
“Kakek minta
semua yang telah kakek berikan dapat kau gunakan dengan sebaiknya, jangan
disalahgunakan.”
“Kek!” ucap
Panji mencoba menahan emosi
“Setelah
kakek tiada, pergilah ke kota, carilah pekerjaan dan hiduplah dengan uang hasil
jerih payahmu. Akan tetapi, ingatlah, di kota banyak orang-orang jahat. Jagalah
dirimu, jangan sampai engkau ikut-ikutan seperti mereka,
tegakkanlah keadilan di sana!”
“Iya Kek,
saya berjanji.” Jawab Panji mencoba meyakinkan kakeknya walaupun hatinya sangat
sedih.
Tidak lama
setelah kejadian itu, sang kakek meninggalkan Panji untuk selama-lamanya. Panji
tak kuasa menahan air mata dan kesedihannya. Ia merasa sendiri. Setelah
memakamkan kakeknya, ia pun melaksanakan pesan terakhir kakeknya.Ia tinggalkan
tanah kelahirannya dan pergi ke kota.
Setelah lama
berjalan, sampailah ia di kota. Ia pun bekerja dan tinggal di sana. Ia
pun membuktikan sendiri ternyata apa yang disampaikan sang kakek memang benar.
Perampok sangat sering terjadi. Saat melihat perampok beraksi, Panji
langsung memberantasnya. Karena keberaniannya, Panji menjadi terkenal
sebagai pemuda misterius yang berani melawan kejahatan. Keberanian
Panji melawan kejahatan sampailah ke telinga sang sang raja. Raja pun menyuruh
pengawalnya untuk mencari Panji. “Hulubalangku, ke marilah!”“Duli
Tuanku” jawab hulubalang.
“Segeralah
kau Pergi mencari pemuda yang bernama Panji. Kudengar ia memiliki kesaktian
yang tinggi dan bawalah ia menghadapku.”
“Baik
Tuanku, hamba berangkat.”
Berangkatlah
hulubalang raja untuk mencari pemuda bernama Panji. Setelah lama berjalan,
akhirnya hulubalang raja berhasil menemukan Panji dan membawanya ke hadapan
raja. “Duli
Tuanku, hamba Panji datang menghadap” “Benar kau pemuda yang telah berani
melawan setiap terjadi perampokan?” Tanya sang raja.
“Benar
Tuanku,” Jawab Panji
“Aku telah
mendengar keberanianmu dan kesaktianmu. Untuk itu, sekarang engkau kuangkat
menjadi panglima perang kerajaan.” “Hamba dengan senang hati menerima
tugas yang Tuan berikan pada hamba.”
“Aku juga
akan memberikan puteriku yang cantik ini sebagai istrimu”.
“Terima
kasih, Tuan,” jawab Panji terbata-bata karena tidak menyangka raja memberinya
sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah terbesit dalam hatinya.
Panji pun
diangkat sebagai panglima perang dan dinikahkan dengan putri raja.
Di bawah
pimpinan Panji, negeri itu menjadi makmur dan terkenal akan kekuatannya.
Perampok dan pemberontak ditumpas habis, sehingga negeri itu menjadi sejahtera.
Setiap ada peperangan, Panji selalu berada di barisan terdepan.
Karena jasa
besar Panji, raja akhirnya mengubah nama negeri mereka menjadi Pangkalan
Panji. Nama pangkalan di ambil dari pelabuhan dagang kerajaan yang merupakan
pangkalan kerajaan yang telah menjadikan negeri itu sejahtera. Panji dan
istrinya hidup bahagia.
7. ASAL MULA DESA TANJUNG AGUNG
ALKISAH pada zaman
dahulu kala terdapat sebuah desa yang sangat sepi karen tidak
berpenghuni. Semua wilayahnya berupa hutan. Panjang wilayahnya kurang lebih
empat kilometer. Desa tersebut berada di perbatasan Pangkalan Panji yang di
dalam karena desa ini menyambung dan dibatasi oleh Sungai Kertak, anak dari
Sungai Musi. Cukup lama desa tersebut baru perpenghuni. Itu pun masih sangat
sedikit. Karena penduduknya masih sangat sedikit, tentu saja desanya masih
sangat sepi.
Pada saat itu hiduplah seorang pemuda bernama Agung. Ia sangat suka bermain di sekitar muara Sungai Kertak. Ia selalu sendirian saat bermain karena ia memang tidak punya teman. Selain bermain, ia juga memancing hampir setiap hari di sana.
Suatu hari, seperti biasa, Agung bermain dan memancing di muara Sungai Kertak, Hari itu ia berhasil mendapatkan ikan yang sangat banyak. Karena mendapatkan ikan yang banyak, ia semakin asyik memancing. Setelah lama memancing, tiba-tiba pancingannya tersangkut di kumpai (rumput). Karena kejadian itu, ia menghentikan kegiatan memancingnya dan memutuskan pulang ke rumahnya.
Dalam perjalanan pulang, di tengah hutan yang sepi ia
dihadang oleh dua orang pemuda.“Hei pemuda, mau ke mana, hah!?” tanya
salah seorang dari pemuda yang menghadangnya..
“Saya mau pulang,” jawab Agung.
“Heh, tidak bisa. Kamu pikir kamu siapa?”
“Permisi, maaf saya mau pulang.”
“Tidak semudah itu. Apa yang kau bawa itu?”
“Ini ikan hasil pancingan saya.”
“Bagus, kalau begitu cepat kau serahkan ikanmu. Baru kau poleh pulang.”
“Maaf, saya seharian memancing untuk mendapatkan ikan ini,” jawab Agung mencoba mempertahankan miliknya.
“Heh, tidak bisa. Kamu pikir kamu siapa?”
“Permisi, maaf saya mau pulang.”
“Tidak semudah itu. Apa yang kau bawa itu?”
“Ini ikan hasil pancingan saya.”
“Bagus, kalau begitu cepat kau serahkan ikanmu. Baru kau poleh pulang.”
“Maaf, saya seharian memancing untuk mendapatkan ikan ini,” jawab Agung mencoba mempertahankan miliknya.
“Baik kalau itu maumu,” jawab kedua pemuda itu. Kedua
pemuda itu pun langsung merampas secara paksa ikan milik Agung yang sudah
dengan susah payah dan seharian dipancingnya.
“Sekarang pulanglah!” teriak salah satu dari pemuda itu.
Agung tidak berani melawan. Ia ketakutan dan ia pun pulang sambil menangis.
Keesokan harinya, Agung kembali ke Sungai Kertak. Setelah sampai, ia langsung memasang pancing dan mulai memancing. Hari ini ia berhasil memancing, Ia mendapatkan ikan yang sangat banyak. Ia kembali memasang umpan dan kembali melemparkan pancingnya. Umpannya selalu disambar ikan. Pada saat ia kembali melemparkan pancingnya, tiba-tiba pancingnya tersangkut. Ia pun langsung mengambil pancingannya yang tersangkut. Setelah itu, entah dari mana datangnya, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik berambut panjang yang sedang mandi di muara.
“Agung, ke mari,” teriak si gadis itu.
Mendengar seorang wanita yang sangat cantik memanggil namanya, tentu saja Agung sangat senang. Segera ia mendekati si gadis.”
“Kita main-main dan mandi di sisni, yuk,” ajak si gadis.
Karena senangnya, Agung menurut saja ajakan si gadis dan hatinya tidak mungkin menolak. Tidak lama setelah itu, Agung tenggelam ditarik hantu air. Ternyata, gadis cantik yang mengajak Agung bermain tadi adalah hantu air.
Sementara itu, Ibu Agung yang menunggu kepulangan anaknya menjadi sangat cemas karena sampai sore dan hampir malam, anaknya belum pulang juga. Padahal, selama ini tidak pernah anaknya pulang sesore ini.
Ibu Agung tidak tinggal diam. Ia pun meminta bantuan seorang dukun untuk mencari anaknya. Semalaman Agung dicari, tetapi tidak berhasil. Pagi harinya Agung baru berhasil ditemukan. Agung ditemukan berada di dalam kumpai yang tebal. Dukun yang membantu memncari Agung langsung mengangkat Agung ke darat. Ternyata, Agung tidak bernyawa lagi. Ibu Agung berteriak histeris mengetahui anaknya tidak bernyawa lagi. Warga di sana pun turut merasakan kesedihan yang dialami ibu Agung. Warga di desa itu pun akhirnya sepakat memberi nama desa itu dengan nama Talang Sabrang (Tanjung Agung).
Saat ini Desa Tanjung Agung sudah cukup maju, sudah ada rumah-rumah walaupun jumlahnya tidak begitu banyak hingga sekarang. Kini Desa Tanjung Agung lebih dikenal dengan nama Desa Panji Sabrang.
Agung tidak berani melawan. Ia ketakutan dan ia pun pulang sambil menangis.
Keesokan harinya, Agung kembali ke Sungai Kertak. Setelah sampai, ia langsung memasang pancing dan mulai memancing. Hari ini ia berhasil memancing, Ia mendapatkan ikan yang sangat banyak. Ia kembali memasang umpan dan kembali melemparkan pancingnya. Umpannya selalu disambar ikan. Pada saat ia kembali melemparkan pancingnya, tiba-tiba pancingnya tersangkut. Ia pun langsung mengambil pancingannya yang tersangkut. Setelah itu, entah dari mana datangnya, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik berambut panjang yang sedang mandi di muara.
“Agung, ke mari,” teriak si gadis itu.
Mendengar seorang wanita yang sangat cantik memanggil namanya, tentu saja Agung sangat senang. Segera ia mendekati si gadis.”
“Kita main-main dan mandi di sisni, yuk,” ajak si gadis.
Karena senangnya, Agung menurut saja ajakan si gadis dan hatinya tidak mungkin menolak. Tidak lama setelah itu, Agung tenggelam ditarik hantu air. Ternyata, gadis cantik yang mengajak Agung bermain tadi adalah hantu air.
Sementara itu, Ibu Agung yang menunggu kepulangan anaknya menjadi sangat cemas karena sampai sore dan hampir malam, anaknya belum pulang juga. Padahal, selama ini tidak pernah anaknya pulang sesore ini.
Ibu Agung tidak tinggal diam. Ia pun meminta bantuan seorang dukun untuk mencari anaknya. Semalaman Agung dicari, tetapi tidak berhasil. Pagi harinya Agung baru berhasil ditemukan. Agung ditemukan berada di dalam kumpai yang tebal. Dukun yang membantu memncari Agung langsung mengangkat Agung ke darat. Ternyata, Agung tidak bernyawa lagi. Ibu Agung berteriak histeris mengetahui anaknya tidak bernyawa lagi. Warga di sana pun turut merasakan kesedihan yang dialami ibu Agung. Warga di desa itu pun akhirnya sepakat memberi nama desa itu dengan nama Talang Sabrang (Tanjung Agung).
Saat ini Desa Tanjung Agung sudah cukup maju, sudah ada rumah-rumah walaupun jumlahnya tidak begitu banyak hingga sekarang. Kini Desa Tanjung Agung lebih dikenal dengan nama Desa Panji Sabrang.
“Baik
Tuanku, hamba berangkat.”
Berangkatlah
hulubalang raja untuk mencari pemuda bernama Panji. Setelah lama berjalan,
akhirnya hulubalang raja berhasil menemukan Panji dan membawanya ke hadapan
raja. “Duli
Tuanku, hamba Panji datang menghadap” “Benar kau pemuda yang telah berani
melawan setiap terjadi perampokan?” Tanya sang raja.
“Benar
Tuanku,” Jawab Panji
“Aku telah
mendengar keberanianmu dan kesaktianmu. Untuk itu, sekarang engkau kuangkat
menjadi panglima perang kerajaan.” “Hamba dengan senang hati menerima
tugas yang Tuan berikan pada hamba.”
“Aku juga
akan memberikan puteriku yang cantik ini sebagai istrimu”.
“Terima
kasih, Tuan,” jawab Panji terbata-bata karena tidak menyangka raja memberinya
sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah terbesit dalam hatinya.
Panji pun
diangkat sebagai panglima perang dan dinikahkan dengan putri raja.
Di bawah
pimpinan Panji, negeri itu menjadi makmur dan terkenal akan kekuatannya.
Perampok dan pemberontak ditumpas habis, sehingga negeri itu menjadi sejahtera.
Setiap ada peperangan, Panji selalu berada di barisan terdepan.
Karena jasa
besar Panji, raja akhirnya mengubah nama negeri mereka menjadi Pangkalan
Panji. Nama pangkalan di ambil dari pelabuhan dagang kerajaan yang merupakan
pangkalan kerajaan yang telah menjadikan negeri itu sejahtera. Panji dan
istrinya hidup bahagia.
8.ASAL USUL
TANJUNG BERINGIN
Pada zaman
dahulu penduduk masih hidup pindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah
yang lain. Akhirnya mereka menetap di suatu tempat yang kelak daerah tersebut
diberi nama desa Tanjung Beringin. Desa Tanjung
Beringin terdiri atas beberapa wilayah yaitu Pulau Simpang Pelantar, Pulau
Jemewe, Pulau Belatek, Pangkalan Kijang, Matang Mecang Air Rempah, Sake Tige,
Bundud Satu, Bundud Dua, Pulau Enau, Pulau Pak Meben, dan Gaung Beringin.
Pada Tahun
1909, para penduduk dari berbagai wilayah yang ada di desa tanjung beringin
bersatu membentuk sebuah kampung yang dinamakan Rengan Nangka yang dipimpin
oleh seorang Karie yaitu Karim bin Jaiman serta seorang depati bernama Seman.
Beberapa tahun kemudian keriernya diganti oleh Hamid dan Depatinya Mamad. Pada masa kepemimpinan Kerie Muhammad yahya dan
tepatnya Aziz dan Nurhasan, banyak kejadian yang ditemukan oleh penduduk salah
satu. Temuan
tersebut adanya sebuah rumah bersake tige yang letaknya tidak jauh dari Pulau
Air Rempah dan Pulau Sake Tige. Kemudian Kerie tersebut mengumpulkan penduduk
desa dan bertanya. “Wahai penduduk siapakah yang telah membuat rumah bersake
tige ini, karena rumah itu berbeda dengan rumah penduduk yang lain, serta rumah
tersebut dari kayu besar dan diikat menggunakan rotan tanpa dibelah”
Salah satu
penduduk menjawab. “Pemilik rumah bersake tige itu adalah orang Kubu yang
bertelapak lebar, mereka hidup berpindah-pindah dan melakukan perjalanan dari
Pulau Ipuh menuju ke Pulau Sake Tige, kemudian menyusuri Sungai Air Palal yang
terletak di antara jalan Pangkalan Balai menuju pengumbuk, selain itu juga di
kampung Rengan Nangke terdapat tiga pulau dan tiga sungai yang melingkari
Rengan Nangke, diantaranya Pulau Simpang Pelatar, Pulau Sake Tige, Pulau Gaung
Beringin. Sejak saat itulah, kampung Rengan Nangke berubah nama menjadi Kampung
Sake Tige. Kerie
Muhammad Yahya kemudian digantikan oleh Kerie Bujang Ayu. Pada saat
kepemimpinan Kerie Bujang Ayu tidak ada lagi depati tetap, digantikan oleh
seorang Pesiranya Sabidi Majid. Kemudian Kerie Bujang Ayu mengusulkan agar nama
kampung Sake Tige diubah namanya menjadi dusun Tanjung Beringin. Hal ini
dikarenakan di daerah tersebut terdapat telaga atau gaung yang disampingnya ada
pohon beringin dan kita-kita 200 meter terdapat pula pohan Tanjung yang apabila
berbunga harumnya semerbak mengharumi Dusun Tanjung Beringin, pada awalnya
dusun tersebut namanya Gaung Beringin bukan Tanjung Beringin tetapi dalam suatu
musyawarah dusun mufakat diberi nama Dusun Tanjung Beringin.
9. BURONG KUWAW
Pada zaman dahulu, di salah satu
desa hiduplah seorang anak perempuan dan ibunya. Anak perempuannya bernama Siti
Gelembung. Nasib Gelembung sangat malang. Setiap hari pagi-pagi sekali
Gelembungan ditinggalkan Ibunya ke kebun dan menjelang malam Ibunya baru pulang
ke rumah. Setiap sebelum pergi Ibunya selalu berpesan kepada Gelembungan agar
tidak pergi kemana-mana apalagi pergi jauh dari rumah. Gelembung anak yang
patuh. Dia selalu ingat pesan Ibunya, maka dia tidak pernah keluar rumah.
Akibatnya, dia tidak mempunyai seorangpun teman. Sehari- hari ia hanya di rumah
sendirian.
Setiap hari menjelang subuh dia selalu bangun lebih dahulu. Disiapkannya semua
keperluan Ibunya. Setelah semuanya siap, ia membangunkan Ibunya.
“ Bu, hari ini di kebun panen tebu, ya?” tanya Gelembung pada suatu pagi setelah ibunya bangun. “Iya, Nak.”
“ Bu, aku ingin sekali makan tebu. Pulang nanti bawakan aku tebu ya!” “Iya kalau ibu ingat.”
Pagi itu seperti biasa pergilah ibunya ke kebun. Ternyata, Ibunya berpacaran di kebun. Pacar Ibunya bernama Nang Cik. Sambil memanen tebu mereka berpacaran. Semua hasil panen tebu yang bagus-bagus di berikan ibunya kepada Nang Cik. Sementara, tebu yang busuk dibawanya pulang. Setelah sore, Ibunya pun pulang.
“Hore, Ibu pulang. Pasti Ibu membawa tebu pesananku. Iya kan Bu?”
“Ya, Nak,” kata Ibunya sambil memberikan tebu yang dibawanya.
“Bu, kok tebunya busuk semua?” , “Oh,sepertinya Ibu salah ambil.”
Hati gelembung menjadi sangat sedih. Apa yang dinantikannya seharian tidak diperolehnya. Keesokan harinya dia seperti biasa bangun pagi dan menyiapkan segala keperluan Ibunya. Setelah Ibunya bangun, Ia kembali menyampaikan keinginannya.
“Bu, hari ini aku ikut ke kebun ya?”
“tidak usah Nak, Di sana banyak pekerjaan, nanti kamu lelah.”
“Tidak apa-apa Bu, aku ikut ya Bu?” Gelembung kembali memohon kepada Ibunya.
“Tidak usah, kamu di rumah saja!”
“Ya sudah kalu begitu, tapi pulang nanti jangan lupa bawakan aku tebu, ya Bu!”
“Ya,” jawab Ibunya sambil meninggalkan Gelembung.
Seperti biasa, Ibunya berpacaran di kebun. Setelah sore Ia pulang dengan membawa tebu pesanan anaknya.
“Ini tebu pesananmu!”
Gelembung bergegas mengambil tebu yang dibawakan Ibunya. “Bu, kok tebu busuk lagi yang dibawa? Mana tebu yang bagusnya Bu?”
Ibunya langsung meninggalkan Gelembung tanpa menghiraukan pertanyaan Gelembung. Pedih hati Gelembung melihat sikap Ibunya. Ia pun bertembang
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Nyanyian Gelembung terdengar sangat merdu. Beberapa hari kemudian, Ia terus meminta dibawakan tebu, tetapi selalu tebu busuk yang dibawakan oleh Ibunya. Setiap Ibunya membawakan tebu busuk, Ia selalu bertembang dan berdoa agar Ia ditumbuhkan sayap.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Suatu malam ia bermimpi bertemu ayahnya.
“Nak, kalau kau ingin tumbuh sayap dan berubah menjadi burung. Banyak-banyaklah bertembang. Jangan berhenti sebelum kau berubah menjadi burung,” pesan ayahnya.
Gelembung pun terbangun. Ia tidak sabar menanti pagi hari. Pagi itu, ia pun langsung bertembang, merdu sekali tembang yang ia nyanyikan.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Beberapa kali ia bertembang, tumbuhlah sayap ditangannya. Ia pun kembali bertembang.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Setelah berkali-kali bertembang, Gelembung berubah menjadi seekor burung. Ketika Ibunya melihat gelembung, ia sangat terkejut melihat anaknya telah berubah menjadi burung. Dikejarnya anaknya. Gelembung terbang ke suatu ranting pohon yang kecil. Ditebanglah pohon itu oleh Ibunya agar anaknya turun. Gelembung pun pergi ke pohon yang lebih tinggi.
“Nak turun Nak, nanti Ibu bawakan tebu yang bagus-bagus untukmu. Turunlah Nak, turun,” jerit Ibunya sambil menangis.
Gelembung semakin tinggi terbang meninggalkan Ibunya. Ibunya hanya dapat menyesali perbuatan yang ia lakukan pada anaknya. Lalu, Ibunya pun bertembang
“Tebu sebetang aku saying, Anak sekok aku tak sayang , Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
burung ini dikenal dengan sebutan Burung Kuwaw karena setiap pagi mengeluarkan bunyi “Kuwaw, kuwaw.”
“ Bu, hari ini di kebun panen tebu, ya?” tanya Gelembung pada suatu pagi setelah ibunya bangun. “Iya, Nak.”
“ Bu, aku ingin sekali makan tebu. Pulang nanti bawakan aku tebu ya!” “Iya kalau ibu ingat.”
Pagi itu seperti biasa pergilah ibunya ke kebun. Ternyata, Ibunya berpacaran di kebun. Pacar Ibunya bernama Nang Cik. Sambil memanen tebu mereka berpacaran. Semua hasil panen tebu yang bagus-bagus di berikan ibunya kepada Nang Cik. Sementara, tebu yang busuk dibawanya pulang. Setelah sore, Ibunya pun pulang.
“Hore, Ibu pulang. Pasti Ibu membawa tebu pesananku. Iya kan Bu?”
“Ya, Nak,” kata Ibunya sambil memberikan tebu yang dibawanya.
“Bu, kok tebunya busuk semua?” , “Oh,sepertinya Ibu salah ambil.”
Hati gelembung menjadi sangat sedih. Apa yang dinantikannya seharian tidak diperolehnya. Keesokan harinya dia seperti biasa bangun pagi dan menyiapkan segala keperluan Ibunya. Setelah Ibunya bangun, Ia kembali menyampaikan keinginannya.
“Bu, hari ini aku ikut ke kebun ya?”
“tidak usah Nak, Di sana banyak pekerjaan, nanti kamu lelah.”
“Tidak apa-apa Bu, aku ikut ya Bu?” Gelembung kembali memohon kepada Ibunya.
“Tidak usah, kamu di rumah saja!”
“Ya sudah kalu begitu, tapi pulang nanti jangan lupa bawakan aku tebu, ya Bu!”
“Ya,” jawab Ibunya sambil meninggalkan Gelembung.
Seperti biasa, Ibunya berpacaran di kebun. Setelah sore Ia pulang dengan membawa tebu pesanan anaknya.
“Ini tebu pesananmu!”
Gelembung bergegas mengambil tebu yang dibawakan Ibunya. “Bu, kok tebu busuk lagi yang dibawa? Mana tebu yang bagusnya Bu?”
Ibunya langsung meninggalkan Gelembung tanpa menghiraukan pertanyaan Gelembung. Pedih hati Gelembung melihat sikap Ibunya. Ia pun bertembang
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Nyanyian Gelembung terdengar sangat merdu. Beberapa hari kemudian, Ia terus meminta dibawakan tebu, tetapi selalu tebu busuk yang dibawakan oleh Ibunya. Setiap Ibunya membawakan tebu busuk, Ia selalu bertembang dan berdoa agar Ia ditumbuhkan sayap.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Suatu malam ia bermimpi bertemu ayahnya.
“Nak, kalau kau ingin tumbuh sayap dan berubah menjadi burung. Banyak-banyaklah bertembang. Jangan berhenti sebelum kau berubah menjadi burung,” pesan ayahnya.
Gelembung pun terbangun. Ia tidak sabar menanti pagi hari. Pagi itu, ia pun langsung bertembang, merdu sekali tembang yang ia nyanyikan.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Beberapa kali ia bertembang, tumbuhlah sayap ditangannya. Ia pun kembali bertembang.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Setelah berkali-kali bertembang, Gelembung berubah menjadi seekor burung. Ketika Ibunya melihat gelembung, ia sangat terkejut melihat anaknya telah berubah menjadi burung. Dikejarnya anaknya. Gelembung terbang ke suatu ranting pohon yang kecil. Ditebanglah pohon itu oleh Ibunya agar anaknya turun. Gelembung pun pergi ke pohon yang lebih tinggi.
“Nak turun Nak, nanti Ibu bawakan tebu yang bagus-bagus untukmu. Turunlah Nak, turun,” jerit Ibunya sambil menangis.
Gelembung semakin tinggi terbang meninggalkan Ibunya. Ibunya hanya dapat menyesali perbuatan yang ia lakukan pada anaknya. Lalu, Ibunya pun bertembang
“Tebu sebetang aku saying, Anak sekok aku tak sayang , Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
burung ini dikenal dengan sebutan Burung Kuwaw karena setiap pagi mengeluarkan bunyi “Kuwaw, kuwaw.”
10. ASAL USUL PANGKALAN BALAI
Kisah ini
menceritakan ada suatu perkampungan yang diberi nama 'Talang Gelumbang'.
Penduduk awalnya hanya dihuni tujuh buah rumah oleh beberapa keluarga yang
dipimpin oleh tiga tokoh masyarakat yaitu pertama Puyang Beremban Besi seorang
pahlawan, penduduk asli yang mempunyai kekuatan kebaal terhadap berbagai
senjata tajam, kedua Bujang Merawan selaku pimpinan Pemerintahan, dan ketiga
adalah Cahaya Bintang selaku pimpinan adat.
Di antara ketiga tokoh tersebut ada yang berasal dari Cirebon anak Mangkubumi
dari kesultanan Cirebon karena kebijaksanaan dan wibawaa mereka, desa kecil itu
terus berkembang, satu persatu rumah bertambah, karena banyak daya tarik dari
desa ini, akhirnya desa ini menjadi perkampungan yang ramai.
Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bercocok tanam dan sebagai nelayan, kehidupan masyarakat desa ini selalu dalam suasana aman dan damai. Sekitar tahun 1600 datanglah seorang yang tak dikenal dengan kapal layar bernama 'Tuan Bangsali', beliau ternyata seorang ulama, beliau menyebarkan agama islam sehingga penduduk baik laki-laki maupun perempuan belajar agama islam.
Tuan Bangsali memilih Thalib Wali sebagai orang kepercayaannya atau orang yang pandai ilmu agama. Setelah kedatangan Tuan Bangsali desa ini mengalami perkembangan yang pesat, karena kampung ini kecil dan kurang memadai maka pemimpin desa ini memperluas kampung dan memindahkan penduduknya ke seberang yang diberi nama Napal. Di desa Napal ini mereka membangun perkampungan baru dan banyak rumah kokoh berdiri, kemudian penduduk membangun sebuah Balai Desa yang cukup besar dan sebuah Pangkalan tempat berlabuhnya perahu dagang dan perahu nelayan Pangkalan ini diberi nama Pangkalan Napal atau Pangkalan Bangsali.
Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bercocok tanam dan sebagai nelayan, kehidupan masyarakat desa ini selalu dalam suasana aman dan damai. Sekitar tahun 1600 datanglah seorang yang tak dikenal dengan kapal layar bernama 'Tuan Bangsali', beliau ternyata seorang ulama, beliau menyebarkan agama islam sehingga penduduk baik laki-laki maupun perempuan belajar agama islam.
Tuan Bangsali memilih Thalib Wali sebagai orang kepercayaannya atau orang yang pandai ilmu agama. Setelah kedatangan Tuan Bangsali desa ini mengalami perkembangan yang pesat, karena kampung ini kecil dan kurang memadai maka pemimpin desa ini memperluas kampung dan memindahkan penduduknya ke seberang yang diberi nama Napal. Di desa Napal ini mereka membangun perkampungan baru dan banyak rumah kokoh berdiri, kemudian penduduk membangun sebuah Balai Desa yang cukup besar dan sebuah Pangkalan tempat berlabuhnya perahu dagang dan perahu nelayan Pangkalan ini diberi nama Pangkalan Napal atau Pangkalan Bangsali.
Beberapa tahun kemudian Puyang Beremban Besi wafat dan berwasiat agar
dimakamkan di hilir dusun (kira-kira dua kilometer dari Boom Berlian) teernyata
di tempat makam beliau ditumbuhi nipah kuning. Setelah wafatnya Puyang Beremban
Besi kemudian Bujang Merawan dan Cahaya Bintang pun mengundurkan diri karena
sudah tua dan sering sakit-sakitan.
Akhirnya kepemimpinan beralih ke tangan Thalib Wali. Kemudian Thalib Wali
menunjuk dua orang yaitu Puyang Rantau Pendodo sebagai kepala pemerintahan dan
Muning Cana sebagai orang yang gagah berani.
Thalib Wali ini bernama Munai maka orang-orang desa ini memanggil beliau dengan sebutan 'Muning Munai'. Karena perkembangan desa dan keadaan pemerintahan yang kurang memadai, maka Thalib Wali mengambil kebijaksanaan bersama musyawarah rakyat setempat untuk memilih wakil-wakilnya, mereka yang terpilih adalah Ngunang sebagai Rio (kerio) Desa inni untuk pertama kalinya. Kemudian Thalib Wali ditetapkan menjadi khotib yang mengemban tugas agama sebagai pencatat nikah, tolak, dan rujuk, mengurus kelahirran dan kematian serta mengurus persedekahan rakyat.
Thalib Wali ini bernama Munai maka orang-orang desa ini memanggil beliau dengan sebutan 'Muning Munai'. Karena perkembangan desa dan keadaan pemerintahan yang kurang memadai, maka Thalib Wali mengambil kebijaksanaan bersama musyawarah rakyat setempat untuk memilih wakil-wakilnya, mereka yang terpilih adalah Ngunang sebagai Rio (kerio) Desa inni untuk pertama kalinya. Kemudian Thalib Wali ditetapkan menjadi khotib yang mengemban tugas agama sebagai pencatat nikah, tolak, dan rujuk, mengurus kelahirran dan kematian serta mengurus persedekahan rakyat.
Beberapa
tahun kemudian Tuan Bangsali menilai adda beberapa orang yang pandai ilmu agama
islam mereka adalah Thalib Wali dan Dul.
Sedangkan Dul berasal dari Talang Majapani (Lubuk Rengas) dan kedua orang ini
diajak pergi haji ke tanah suci Mekkah dengan menggunakan perahu layar. Setahun
kemudian mereka yang pergi haji tersebut kembali ke desa ini, yaitu Serumpun
Pohon Paojenggih dan Serumpun Pohon Beringin Nyusang.
Dengan
ketentuan harus ditanam di dusun, pohon Poejenggih ditanam di sebelah kiri naik
dan Pohon Beringin Nyusang ditanam di sebelah kanan naik, sedangkan Dul membawa
serumpun Maje, dari tahun ke tahun dusun ini terus mengalami kemajuan dan masih
tetap bernama 'Talang Gelumbang' dan pangkalannya masih tetap bernama Pangkalan
Bangsali.
Setelah 40 tahun, wafatlah Kerio Ngunang, kerena perkembangan dusun sangat pesat maka dipilih seorang pasira (Depati) oleh Susuhunan Raja-raja Palembang, yang kedudukan di dusun Limau. Menurut ceritanya, Dusun Limau ini dibuat oleh anak dalam Muara Bengkulu. Rio ayung seorang anak dari Mangku Bumi Kesultanan Majapahit padda waktu Majapahit jatuh kekuasaannya, maka kelima anak dari Mangku Bumi melarikan diri ke Sumatera yaitu yang tertua ke daerah Sung Sang bernama Ratu Senuhun, yang kedua di daerah Limau bernama Rio Bayung, yang ketiga di daerah Betung bernama Rima Demam, dan dua orang wanita di daerh Abad Penungkal (Air Hitam).
Setelah 40 tahun, wafatlah Kerio Ngunang, kerena perkembangan dusun sangat pesat maka dipilih seorang pasira (Depati) oleh Susuhunan Raja-raja Palembang, yang kedudukan di dusun Limau. Menurut ceritanya, Dusun Limau ini dibuat oleh anak dalam Muara Bengkulu. Rio ayung seorang anak dari Mangku Bumi Kesultanan Majapahit padda waktu Majapahit jatuh kekuasaannya, maka kelima anak dari Mangku Bumi melarikan diri ke Sumatera yaitu yang tertua ke daerah Sung Sang bernama Ratu Senuhun, yang kedua di daerah Limau bernama Rio Bayung, yang ketiga di daerah Betung bernama Rima Demam, dan dua orang wanita di daerh Abad Penungkal (Air Hitam).
Ratu Senuhun
pada waktu berlayar perahunya tersangsang (tersangkut) dan tidak bias turun
lagi, maka daerah tersebut dinamakan Sung Sang, tetapi sebenarnya adalah
Sang-Sang, sedangkan Depati Bang Seman, anaknya yang menjabat sebagai depati,
namun istrinya meninggal, maka Depati Buta, karena matanya buta sebelah, tetapi
kewibawaannya tinggi dan pergaulannya sangatlah luas, maka orang-orang hormat
padanya. Setelah tujuh tahun beliau memegang tampuk pemerintahan, kemudian
beliau sakit dan wafat.
Setiap dusun yang ada Rio (kepala desaa) harus mempunyai seorang khotib, yang
bertugas mencatat nikah, tolak, rujuk, kematian, kelahiran, dan persedekahan
rakyat. Perhubungan laut di Dusun Limau sulit untuk dijangkau maka diambil
suatu kebijaksanaan bahwa pemerintahan Stap Pasirah dipindahkan ke Dusun Galang
Tinggi. Dusun Galang Tinggi konon ceritanya dibuat oleh si Pahit Lidah, setelah
di dusun Galang Tinggi diadakan musyawarah dan hasil musyawarah itu terpilihlah
Depati Jebah sebagai depati pertama di dusun Galang Tinggi, lima tahun kemudian
Jebah wafat dan digantikan oleh depati Renyab.
Konon kabar di suatu desa yang bernama dusun Galang Tinggi, dusun ini dibuat
oleh seorang yang sangat sakti mandraguna karena apa yang diucapkannya akan
menjadi misalnya, seekor gajah yang sedang menyeberang laut si Pahit Lidah
berucap menjadi batu maka gajah itupun akan berubah menjadi batu dan banyak
lagi kejadian-kejadian yang lain. Oleh karena itu, dia dijuluki si Pahit Lidah
dan bukti-bukti peristiwa itu masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Di
dusun Galing Tinggi ini kemudian ada pertarungan untuk memilih depati harus
dengan keputusan musyawarah bersama, maka terpilihnya seorang yang bernama
mentadi. Mentadi adalah saudara kandung ibu Depati Berdin yang bungsu
Thalib Wali bernama Mentadi dipilih menjadi depati.
Setelah lebih kurang empat tahun Mentadi menjadi depati di Tanjung Menang
terjadi kemarau panjang selama Sembilan bulan. Pada waktu itu kayu bergesekan
maka keluarlah api, pada saat itu pula Mentadi sedang membuat sebuah ladang
ketika ia membakar ladangnya untuk dibersihkan ternyata api itupun menyebar
luas lalu membakar hutan-hutan dan kampong-kampung kecil sekitarnya ada dua
rumah yang di dalamnya ada orang tua yang sedang sakit dan anak berumur
dua tahun ikut terbakar dan meninggal dunia.
Karena peristiwa itu maka Depati Mentadi dijatuhi hukuman oleh hakim pada waktu
itu, dia dihukum selama tiga tahun penjara dan diberhentikan sebagai depati.
Penjara (obak) itu dinamakan Macan Lindung, akan tetapi Mentadi mempunyai
sahabat karib yang bernama Marem Bubok dan Jamaer yang nama aslinya Tamsi.
Kedua sahabat Mentadi mengharap pengadilan akan menemani Mentadi selama dalam
penjara, pengadilan pun memperbolehkan, akhirnya hukuman Mentadi diputuskan
hanya satu tahun berkat bantuan sahabatnya itu. Setelaah Mentadi berhenti dari
jabatannya sebagai depati, maka dari hasil musyawarah terpilihlah pak Betiah
sebagai depati dan beliau digelari sebagai Depati Bungkuk, saying beliau ini
buta huruf dan hanya bisa menjabat depati selama tiga tahun.
Semasa pemerintahan Depati Bungkuk Palembang telah jatuh kepada pemerintah Hindia
Belanda. Kemudian Depati Bungkuk berhenti hasil musyawarah terpilih kembali
Mentadi sebagai Depati untuk jabatan selama dua puluh tahun. Pada masa
kepemimpinan Depati Mentadi pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda dating ke
dusun Tanjung Menang dan menanyakan mengapa nama dusun ini Tanjung Menang dan
nama Pangkalannya adalah Pangkalan Bangsali, Depati Mentadi menerangkan bahwa
dinamakan Tanjung Menang karena dusun ini telah berhasil memenangkan peperangan
melawan Lanun (bajak laut) sedangkan Pangkalan Bangsali karena dibuat oleh Tuan
Bangsali sendiri.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mendengar alasan yang dikemukan oleh Depati
Mentadi, maka mereka mengadakan musyawarah untuk mengubah nama dusun Tanjung
Menang menjadi Pangkalan Bali oleh karena dusun Tanjung Menang mempunyai Balai
maka namanya pun diubah menjadi Pangkalan Balai. Pangkalan Balai adalah
pelabuhan Balai tempat pertemuan oleh karena itu, Pangkalan Balai mempunyai
arti tempat berlabuh yang digunakan untuk pertemuan-pertemuan.
Itulah asal usul nama kota Pangkalan Balai yang terletak di Kabupaten Banyuasin
Provinsi Sumatera Selatan yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Banyuasin
sejak 2002.
Lama-kelamaan
penduduk Ngelebung bertambah banyak dan berkembanglah menjadi sebuah kampung
yang akhirnya menjadi sebuah dusun bernama Lebung. Dusun Lebung sekarang
lebih dikenal dengan nama Desa Lebung. Karena kesaktian ketib membuat kawah
menjadi perahu sebagai kendaraan, ia kemudian dikenal dengan sebutan “Puyang
Perahu Kawah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar