Cerpen Islami


KU TITIPKAN DIA PADA-MU

 
 
Cerpen Putri Rahmawati

Pemuda itu namanya hamdan. Dia seorang pemuda yang tekun beribadah, rajin mengaji tidak banyak cakap tapi pekerja keras kalau kata iklan “talk less do more”, mudah bergaul, ramah, baik hati dan tidak sombong, gemar manabung ga ya??? Tapi dia bukan berasal dari keluarga ulama melainkan dari keluarga yang biasa-biasa saja semangat ibadahnya.

Dialah yang jadi penyemangat ibadah keluarganya. Pada suatu hari…di masjid hamdan biasa mengaji datanglah seorang gadis cantik, sholehah, dia juga seorang mubalighod. Gadis itu berasal dari kota sebrang. Ketika melihat gadis itu hati hamdan langsung bergetar tapi dengan cepat hamdan langsung menundukkan pandangan kemudian berpaling dari gadis itu, hamdan takut pandangannya berubah jadi nafsu yang di hias-hiasi syaiton.

Hamdan memang sangat taat beribadah termasuk dalam menjaga hatinya dari cinta yang belum waktunya. Memang gadis itu dambaan semua pria termasuk hamdan. Hamdan berkata dalam hati “Subhanalloh gadis itu cantik sekali tapi sayang aku bukan siapa-siapanya dan tidak berhak memandangnya terlalu lama”. Hari demi hari akhirnya hamdan kenal dan akrab dengan gadis itu karna setiap acara pengajian mereka selalu bertemu.

Owh iya lupa nama gadis itu dini. Dini mulai akrab dan terbiasa dengan teman-teman barunya termasuk hamdan. Hamdan pun senang karena bisa akrab dengan dini, tapi hamdan selalu berusaha menetralisir hatinya terhadap dini karena hamdan belum berani mengubah rasa senang itu menjadi cinta. Hamdan punya anggapan bahwa berani mencintai harus berani menikahi sehingga cinta itu bisa terjaga dari godaan syaiton, sedangkan pada saat itu hamdan merasa belum mampu untuk menikah.

Dalam do’anya hamdan selalu meminta pada Alloh, berikut isi do’a hamdan kepada Alloh :
“Ya Alloh aku menyukai seorang gadis bernama dini, tapi demi menjaga hatiku agar selalu tetap mencintaiMU, agar bisa jauh dari nafsu semata, agar tetap bisa menjalankan perintahMU bahwa jangan dekat-dekat dengan zina aku belum berani mencintainya, karena saat ini aku merasa belum mampu untuk menjadi halal baginya. Semua ini aku lakukan karena cintaku padaMU jauh lebih besar Ya Alloh jadi aku berusaha mengalahkan syaiton yang menggoda imanku dengan cintaMU. Maka dari itu aku menitipkan dia padaMU karna dia seutuhnya milikMU dan pada saat aku siap menjadi halal baginya dengan ridhoMU aku ingin meminta dia dariMU dan semoga engkau masih menjaganya untukku, jadikan dia jodoh yang baik bagiku. Saat ini aku ingin mempersiapkan diri menjadi pribadi yang lebih baik untuknya. Apabila di tengah jalan dia diambil orang itu semua di luar kuasaku melainkan di dalam kuasaMU, yang pasti demi menjaga hatiku pada Alloh aku sudah memintanya padaMU lebih dulu dan aku yakin Alloh meridhoi niat baikku ini…Amiiin”

Hari demi hari tidak ada hubungan yang special antara hamdan dan dini, tidak ada komunikasi yang berarti kecuali masalah-masalah penting mengenai kegiatan-kegiatan masjid. Dini pun sama sekali tidak merasa kalau hamdan menyukainya karna sikap hamdan yang biasa-biasa saja. Banyak pria yang mengungkapkan rasa cintanya pada dini, baik itu yang sudah siap nikah maupun hanya sekedar suka-sukaan, hamdan pun mengetahuinya namun dia tetap percaya pada do’anya dan membiarkan dini dengan pilihannya. Tapi ternyata di antara sekian banyak pria yang menyatakan cinta pada dini belum ada yang membuat dini tertarik karena pada saat itu dia juga belum siap untuk menikah. Akhirnya keberanian hamdan untuk mewujudkan keinginanya terkumpul sudah, dan pada saat itu sepengetahuan hamdan dini sedang tidak dekat dengan siapa-siapa, sehingga hamdan mulai merutinkan sholat iskhoroh untuk dini sampai kira-kira satu bulan lamanya. Setelah benar-benar merasa yakin hamdan memberanikan diri mengutarakan isi hatinya pada dini, bukan tentang perasaannya terhadap dini melainkan tentang niatnya untuk melamar dini. Pada saat itu hamdan menemui dini di rumahnya bersama temannya. “Assalamu’alaikum”
“Waalaikumussalam”
“Din bisa ganggu sebentar”
“Ada apa mas”
“Ada yang mau saya bicarakan”
“Owh ya udah masuk aja mas”
“Terimakasih”
“Ehhhmm gini din niat saya kesini mau menyampaikan sesuatu”
“Menyampaikan apa mas”
“Saya berniat melamar kamu din”

Pada saat dini mendengar niat hamdan untuk melamarnya dini kaget bukan kepalang. Selama ini hamdan tak pernah terlintas sama sekali di pikirannya apalagi di hatinya meskipun dia tau hamdan orang yang baik. Tapi dini berusaha menghargai niat hamdan, dia bertanya pada hamdan
“sampeyan benar-benar yakin mas mau melamar aku??”
“Iya saya yakin din”
“apapun hasilnya?”
“iya apapun hasilnya saya terima, itu semua di dalam kuasa Alloh saya hanya bisa mengusahakannya”
“Baiklah saya menghargai niat baik sampeyan, tapi saat ini saya belum siap menikah sampai tahun depan, kalau sampeyan mau menunggu saya silahkan tapi kalau engga juga ga apa-apa, jodoh itu kuasa Alloh”
“Baiklah saya terima keputusan kamu din, kita serahkan semua pada Alloh, terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengutarakan niat baik saya ini”
“Iya sama-sama”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”

Setelah mendengar jawaban dini hamdan dan temannya pamit pulang. Dalam hati hamdan sedih tapi dia juga senang karena pada dasarnya dini tidak menolaknya hanya menunda keputusannya, dia masih yakin dengan do’anya. Dini pun masih terkaget-kaget dengan sikap hamdan padanya, dia cerita dengan beberapa teman dekatnya mengenai hamdan. Teman-temannya yang juga mengenal hamdan menyarankan supaya dini menerima lamarannya. Dini pun bingung, akhirnya dia mencoba merutinkan istikhoroh untuk hamdan. Tapi lama kelamaan tidak ada kabar lagi dari hamdan. Seperti ada penyesalan di hati dini kenapa dulu tidak menerima lamaran hamdan karena sekarang dini merasa hamdan menjauh darinya. Akhirnya setelah beberapa bulan tidak ada kabar hamdan datang lagi pada dini dan masih mengutarakan niat yang sama. Dini pun merasa yakin bahwa hamdan tidak main-main, Akhirnya dini menerima lamaran hamdan dan mereka pun menikah dengan ridhonya Alloh. Hati mereka selama ini sama-sama terjaga hingga akhirnya di persatukan dalam ikatan yang suci.


DIBALIK KERUDUNG

 
Oleh Ahmad Nur Salim

Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Hanya tanahnyalah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, maka ia akan tumbuh sebagai pendusta, penipu dan hal lain yang tercela. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana ia akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, dan budi pekerti yang tinggi serta perangai lainnya yang terpuji.

Terkadang cinta itu membuat semua orang jadi bahagia, sengsara, atau bahkan cinta bisa membuat seorang menjadi tak berdaya, tetapi banyak sekali dari diri kita yang salah menentukan arah tujuan dari pada cinta! Setiap orang pasti punya rasa cinta, tapi tak setiap orang dapat merasakan indahnya cinta! Setiap orang pernah bercinta tapi tak setiap orang mampu mengecap bahagianya cinta...

Semua orang pasti memiliki perasaan cinta, karena hal itu merupakan tabi’at dari manusia itu sendiri. Bukankah Allah SWT pernah berfirman dalam Al-Qur’an; ’’Dijadikan indah pula ( pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). (Qs. Ali imron: 14). Kata-kata itu muncul ketika Ustadz Afandi memberikan ceramah di masjid Baitusy syahid.
”Cinta itu memang anugerah, tetapi juga bisa menjadi musibah! (kata Ustadz).Tergantung kita di dalam mengemasnya..! Jikalau cinta itu kita kemas atas dasar ketakwaan kepada Allah, maka cinta itu akan berbuah menjadi anugerah terindah. Tetapi, jika cinta itu kita kemas atas dasar syahwat, maka cinta itu akan menjadi petaka bagi kita! Seperti yang di alami oleh Abdullah.
Ia adalah seorang anak yang rajin, sopan, dan murah senyum. Hik’s!
Selama ini ia menjalani aktivitas sehari-hari di pesantren lita’limil Qur’an. Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik, ia gunakan untuk menitih ilmu. Disana, ia dididik, diasuh, dan digembleng oleh ustad-ustad yang sudah mahir di bidang agamanya. Seiring berjalannya waktu, ketika burung berkicau dengan begitu indah, ayam berkokok dengan begitu kerasnya, ketika langit sudah mulai menampakkan pesona keindahannya...( duuh..jadi terharu nih!) para santri bersiap-siap menuju ke masjid untuk memenuhi panggilan Illahi rabbi.
Allahu akbar...Allahu akbar...
Suara adzan bergemuruh, menggetarkan hati pendengarnya. Dengan suara yang merdu dan indah seorang mu’adzin melantunkan kalimat takbir.
”Took...! Took...! Kang..bangun..bangun! Sudah waktunya sholat shubuh!”, suara pengurus pesantren yang sedang membangunkan para santri yang masih tertidur lelap di tempat tidurnya, hanya untuk memenuhi panggilan Illahi. “Kang…ayo bangun.” Suara Arif mengajakku. “ada apa kang…?” sahutku yang masih memeluk bantal. ”Sudah waktunya sholat shubuh, ayo kang...bangun!” sahut Arif mendesak. ”Iya..” kataku singkat sambil menarik selimut, ”Ayo...!” sahut Arif sambil menarik bantal dan selimutku, ”iya..iya...!” sambungku masih mengantuk.

Semua santri terbangun, kemudian mengambil air wudhu untuk mensucikan diri. Ada juga dari salah satu santri yang sudah duduk didepan mimbar sedang melantunkan ayat-ayat Al-qur’an, sementara santri lain sedang muraja’ah kitab, serta ada yang melakukan sholat rawatib dua raka’at, dan ada juga santri yang masih sulit untuk dibangunkan, akhirnya pengurus memercikkan air di mukanya.
Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, semua santri duduk berbaris ke belakang untuk muthola’ah ayat-ayat Al-qur’an yang sudah pernah dihafalnya, dengan Ustadz Rohman AL.LC. Ada yang sudah menghafal 1 jus, 5 jus, atau bahkan sampai 30 jus. Pagi yang cerah!

Di mana matahari mulai menampakkan pancaran sinarnya, terlihat awan yang cerah dan angin yang terhembus menerpa awan. Sekitar pukul 08.00 para santri mempersiapkan diri dan memulai melangkahkan kaki.
”kang...cepatlah, ayo kita berangkat!” Teriak Ardi dengan keras.
”Ustadznya udah hadir belum?” Sahut Ikhsan sambil mencari kitabnya yang telah hilang.” ”sudah kang...Ustadznya sudah menunggu di depan kelas.” balas Ardi dengan tegas. ”Ya akhi..tunggu sebentar”, sahut Ikhsan sambil membawa kitabnya.
Akhirnya merekapun berbondong-bondong (fastabikhul khoirat) menuju ke majlis ta’lim untuk tholabul ’ilmi atau mencari ilmu. Yeap’s! Ketika para santri ingin mengkaji kitab Ihya’ ulumuddin dengan pak Ustadz, sebut saja ustadz Imron! Beliau yang mengajarkan ilmu-ilmu syari’at di sana.
Tuut...! tuut...! (bunyi hujan di atas genting!) hiip’s..! bunyi bel tanda masuk kelas dibunyikan, semua santri putra maupun putri memasuki kelas. Di samping itu ada dua orang santri yang belum memasuki kelas, yaitu aku dan ukhti Ria.
Ku langkahkan kaki menuju tempat yang belum pernah aku memasukinya, ketika sampai didepan pintu, terdengar banyak orang melafadzkan Kalamullah dan kalam rosulullah, hatiku menjadi terenyuh dan tergugah untuk mempelajarinya. Disaat aku telah meresapi dan menghayati ayat-ayatullah, tiba-tiba terlihat sosok wanita bercadar yang memakai kerudung putih berjalan dengan tergesa-gesa menuju majlis ta’lim untuk mempelajari kitab yang di karang oleh imam Ghozali. Sekejap aku melihatnya, terlihat di matanya tampak ada rasa penyesalan yang tiada tara karena terlambat memasuki kelas.
Pada saat itu pula, kami sempat saling bertatap mata satu dengan yang lainya. Kulihat pancaran pesona keindahan di setiap gerak-gerik kelopak matanya..! (deuh..jatuh cinta nih kayaknya!)

Akupun memberanikan diri untuk bertanya, dengan malu-malu kuucapkan sepatah kata, ”Ukhti terlambat ya?”
diapun menjawab dengan begitu anggunnya, ”iya akhi, tadi kitab saya tidak ada di almari.
”Kamu juga kenapa terlambat?”, tanya ukhti.
Dengan santai aku menjawabnya, ”saya anak baru disini, jadi saya tidak begitu paham tentang kegiatan pondok ini”, ”Ohh...begitu ya! sahut ukhti dengan lembut.”
Kemudian, ku ketuklah pintu kelas dengan pelan-pelan.
Took...! took...!
Dag..dig...dug...jantung berdetak begitu kencangnya, ketika ingin memasuki fashlul ’ula (kelas satu), yang pada saat itu sedang belajar Ihya’ ulumuddin.
Akupun mengucapkan salam: “Assalamu’alaikum?”
semua santri menjawab: ”wa’alaikum salam.”
Semua orang menatapku keheranan, ada juga yang berteriak mengejekku.
Huu...! huu...! ada yang janjian nih ya kayaknya..! hmm..
Didalam hatiku tidak ada rasa kesal sedikitpun ketika teman-teman mengejekku, mungkin karna saya belum mengenal mereka sepenuhnya. Hanya ’Arif’lah yang aku kenal pada saat itu, karna sebelumnya dialah yang mengantarkanku untuk bertemu dengan KH. Abu ahmad ruhani AL.LC. ketika awal saya mondok di pesantren. Yah, Beliau adalah selaku Amir Ma’had lita’limil Qur’an.

Tetapi aku merasa tidak enak kepada ukhti yang sama-sama terlambat masuk kelas tadi. Tentu dia sangat malu sekali atas kejadian pada waktu itu. Raut wajahnya terlihat tampak layu, tatapan matanya terlihat membiru, Aku mencoba untuk tenangkan diri, aku merasa sangat bersalah kepada ukhti, dalam hati aku ucapkan; ”maafkan aku ukhti!” (sebelumnya aku belum mengenal siapa namanya). Setelah aku memasuki kelas, Ustadz Imron bertanya kepadaku, ”masmukal karim ya Akhi (siapa namamu)?”

Ismi Abdullah Ustadz! (nama saya Abdullah Ustadz).”
”sebelumnya aku belum pernah melihatmu, kamu santri baru ya disini?” tanya Ustadz bijaksana. ”Na’am (iya) Ustadz!” jawabku lirih. Kemudian Ustadz menyuruhku untuk berta’aruf (berkenalan) dengan teman-teman di depan kelas.
Akupun mulai memperkenalkan diri, ”Assalamu’alaikum wr.wb?” kataku memulai. ”wa’alaikum salam wr.wb” sahut teman-teman.
Pertanyaan demi pertanyan di lontarkan kepadaku. ”Masmukal karim ya akhi?” tanya Hafidz. ”wa ’aina taskunu ya akhi?” sahut Ilham.

Udara sejuk di pagi hari, angin menghembus melewati sela-sela jendela, sementara baling-baling kipas berputar dengan kencangnya, tetapi udara saat itu terasa sangat panas bagiku. Ku menarik nafas pelan-pelan, dan ku mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan kepadaku, ”Ismi Abdullah akhi, ana min Purwodadi” jawabku dengan tenang. Ketika saya berada didepan kelas, sayapun melihat seorang wanita berkerudung putih merengguk sedih tepat di sudut tembok sebelah kiri, ternyata ia adalah ukhti.
Setelah kejadian itu, hatiku terasa gundah dan piluh, disetiap gerak-gerik langkahku, terpaku dalam kalbu, di setiap jangkauan pandanganku terlintas bayangan kelembutan senyum manis yang menghiasi wajah, terlintas bayangan wajah ukhti. Bahkan, disaat aku membaca kalamullah, disetiap lantunan ayat yang aku baca, terbayang-bayang semua tentangnya, keanggunan prilakunya, tutur katanya, bahkan kerudungnya...! hip’s!
Ya Allah..
Ampunilah hambamu ini..
hamba tidak kuat menahan rasa yang terus menghambur di dalam hati... Sejenak akupun termenung dan berkata, ”Apakah ini yang dinamakan cinta?”, selama ini saya tidak pernah merasakan getaran yang begitu dahsyatnya seperti yang aku rasakan saat ini. Pada saat itu pula, bibirku bergetar dengan sendirinya, seraya berkata:

Ooh..ukhti...
Namamu tak terukhir dalam catatan harianku
Asal-usulmu tak hadir dalam diskusi kehidupanku
Wajah wujudmu tak terlukis dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam dalam pita batinku
Namun, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan semangatku
Sebab, kau adalah hadiah terindah..untukku..!
Langitpun sudah mulai semakin gelap, terlihat para santri sedang menghafal hadits ”Arba’in An-nawawi”, mereka sedang menghafal hadits yang ke-13 yang berbunyi: ”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibbu liakhiihi maa yuhibbu linafsih” artinya, ’Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu sekalian, sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’, di sisi lain aku tidak menghafalkan hadits, ku duduk di serambi masjid sedang termenung. Ternyata, aku masih memikirkan Ukhti yang memakai kerudung putih tadi. Hafidz bertanya kepadaku, ”kenapa akhi termenung gelisah seperti itu?”, ”tidak apa-apa akhi” jawabku menghindar. ”Kenapa Akhi, apa yang terjadi? Hari ini kamu terlihat sedih sekali, kenapa?” desak Hafidz sambil memegang bahu kiriku. ”aku sedang memikirkan sesuatu Akhi, hatiku sedih, dan aku merasa bersalah”, sahutku. ”Laa tahzan innallaha ma’anaa (jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita)” sahut Umar menasehati.
Allahu akbar...Allahu akbar...Suara adzan telah di kumandangkan! Semua santri bergegas menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib secara berjama’ah. Setelah selesai sholat, para santri mempersiapkan diri untuk mengaji kitab Riyadus shalihin, karangan Imam An-nawawi dengan Ustadz Abu ahmad ruhani AL.LC. Beliau membuka kajian itu dengan ucapan salam, ”Assalamu’alaikum wr.wb.” sahut para santri, ”wa’alaikum salam wr.wb.” Kemudian, beliau memberikan hikmah tentang ”Takwa”, salah satunya yaitu didalam Surat Ath-Thalaq ayat 2, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya dan Allah akan memberi rezeki dari arah yang tiada di sangka-sangkanya.” Begitu indah beliau menguraikannya, sehingga dapat menyentuh kalbu. Setelah selesai memberikan materi, Ustadz bertanya kepada para santri, ”siapa yang tidak menghafalkan hadits Arba’in An-nawawi hari ini?” semua santri terdiam. ”Coba maju kedepan” lanjut Ustadz. Akhirnya, tiga orang santri maju kedepan, yaitu Asep, Yahya, dan Abdullah. Satu persatu mereka ditanya bagaimana bisa sampai tidak menghafalkan hadits.

Ustadz bertanya kepada Asep, ”bagaimana bisa kamu tidak menghafal Sep?”
”Saya tadi lupa Ustadz”, jawab Asep.
Kemudian, Ustadz meneruskan pertanyaan, ”kenapa bisa lupa Sep, apa yang kamu kerjakan selama hari ini?”
”saya tadi di suruh Ustadzah Nisa’ untuk membeli kitab di Zia, pusat pembelian kitab.” saya tidak sempat menghafal Ustadz! Afwan...sahut Asep sambil menundukkan kepala.

Kemudian Ustadz melontarkan pertanyaan kepada yahya, ”kalau kamu kenapa ya?”...jawab yahya dengan gemetar, ”Aaa..a...a..ku, tadi ketiduran Ustadz!”.
”Kenapa bisa?” tanya Ustadz kembali.
”tadi habis bermain kurotal kodam (sepak bola) Ustadz!”...jawab yahya.
”Sebagian dari (kualitas) yang baik dari keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya, Paham?” lanjut Ustadz menasehati. ”iya Ustadz, saya paham!” jawab yahya menyesal. Malam begitu terang saat itu, terlihat bulan yang di selimuti banyak bintang, angin menghembus kencang, udara terasa dingin. Menggambarkan suasana hatiku pada waktu itu, tubuhku menjadi dingin seperti angin yang menghembus kencang menerpa dedaunan kering, ketika ustadz memberikan pertanyaannya kepadaku. ”Kenapa kamu tidak menghafal Abdul?” tanya Ustadz lirih. ”Saya tidak tahu Ustadz kalau di suruh menghafalkan hadits!” jawabku pelan. ”ya sudah tidak apa-apa, besok dihafalkan ya?” sahut Ustadz memaklumi.
Pada saat itu pula, aku melihat wajah ukhti yang berada di sebelah kanan tiang masjid. Wajah paras, elok, anggun, nan indah terpadu menjadi satu. Hatiku berbunga-bunga dibuatnya, tubuhku terasa kaku karenanya. Ooh..! Sungguh diriku tak kuat menahan rasa yang terus menggelut di dalam hati.
Malam semakin gelap, semua santri pulang ke pondok untuk beristirahat.

Huuupps...! huuups...! Suara santri yang sedang menyedu teh hangat, terasa manis, dan enak. Sedangkan aku berada di tempat tidur, memeluk bantal sambil menghitung genting yang berada di atas tempat tidur. Kemudian Arif menghampiriku dengan membawa secangkir teh hangat.
”Kenapa Dul?” tanya Arif mengganggu.
”Gak..!” jawabku singkat.
”Ayo..ayo..kenapa? jatuh cinta ya?” sahut Arif menggoda.
”Yee..siapa coba yang jatuh cinta?” jawabku mengelak.
”Ayo..sama siapa? ngaku saja, siapa tahu saya nanti bisa bantu!” sahut Arif.

Akupun sedikit berfikir, akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Arif. Terdengar suara keras ke arahku, Ha...ha....ha....! ”Arif tertawa terbahak-bahak, mengejekku!”... wajahku tampak pucat saat itu, ku mencoba untuk tenangkan diri, terbesit di telingaku kata-kata maaf. ”Maaf Dul...maaf...! aku tidak bermaksud untuk mengejekmu, aku hanya heran saja, masak cowok selugu kamu bisa jatuh cinta?” sahut Arif meminta maaf.
”Cinta itu khan anugerah Rif, emangnya gak boleh ya, kalau aku jatuh cinta!” sahutku singkat. ”boleh sih, tapi.....?” kata Arif penuh makna.
”Tapi kenapa?” jawabku penasaran.
”kalau boleh tahu, siapa sih yang membuat hati kamu jadi luluh seperti ini?”...”hmm...!” wajahku memerah tampak malu, hanya kata itulah yang terucap dalam bibirku. ”Ehem..kamu jatuh cinta sama Ukhti Ria ya?” sahut Arif menggoda.

Jadi, namanya Ukhti Ria ya? Sahutku dengan kilat. Upp’s..ketahuan deh!
”Ooh..gitu tho! Bener khan apa yang aku bilang!” hik’s...Arif tersenyum kepadaku.
”Iya deh iya...aku ngaku, aku memang sedang jatuh hati kepada Ukhti..!”...akhirnya kami pun tersenyum dan tertawa bersama.

Malam semakin gelap, semua kamar tertutup dan semua lampu mati, semua santri telah tertidur pulas. Hanya lampu kamarkulah yang masih hidup, karena aku masih bersendau gurau dengan Arif, yang kebetulan dia satu kamar denganku. Wuussst...! Suara angin malam yang menerjang ranting pepohonan. Kulihat suasana malam yang sunyi sepi, akhirnya akupun berbaring di tempat tidur tepat di sebelahnya Arif, dan akupun mulai membaca do’a, ”Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut”....dan akhirnya akupun tertidur. Dinyalakanya saklar lampu yang lebih terang. Kulirik jam weker yang berada di atas meja belajar. Pukul 03.10. waktunya qiyamul lail. Akupun mulai beranjak dari tempat tidur, ku carilah sandal jepit jelekku yang berada di rak. Masih terbayang sehelai kain yang dililitkan di mahkota terindah. Yeah...wajah Ukhti masih saja hinggap di benak hati dan pikiranku. Segera ku ambil air wudhu, dan ku gelar sajadah kesayanganku. Yeap’s! Sajadah yang selalu menemaniku di kala aku sedang sedih. Dengan hati yang tulus ikhlas, akupun mulai melafadzkan kalimat takbir.
”Ya Rabbi ya Rahman ya Rahim...tak sedikitpun hamba berniat untuk berpaling darimu, hamba hanya tak kuat menahan gejolak yang bersemayam di dalam kalbu.” Ku ungkapkan semua keluh kesah yang ada di benak hati. Malam begitu sunyi, terlihat bulan dan bintang bersinar terang menyinari kegelapan alam.

Ku goreskan pena dengan tinta warna hitam di atas selembar kertas, yang di dalamnya tertuliskan perasaan dan isi hatiku yang paling dalam. ”Sejak pertama kali aku melihatmu, dirimu selalu hadir dalam mimpi-mimpiku, wajah wujudmu selalu ada di setiap langkah kakiku, suaramu terekam dalam pita batinku, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan semangatku, ternyata diriku telah jatuh hati padamu.”... ku kirimkan surat ini lewat Arif. Setelah selesai mengaji Arif memberikan surat ini kepada Ukhti Ria.
”Assalamu’alaikum Ukhti?” kata Arif memanggil.
”Wa’alaikum salam, ada apa Akhi?” Sahut Ukhti Hidayah teman Ukhti Ria.
”Tidak, aku hanya ada perlu sedikit dengan Ukhti Ria. Dia ada tidak?” sahut Arif tergesa-gesa. ”Afwan Akhi, Ukhti Ria sedang mengisi acara di majlis ta’lim KAMAL (kuliah mu’alimil Qur’an), ada perlu apa ya? Nanti akan saya sampaikan kepada Ukhti Ria!” sahut Ukhti Hidayah.
”Iya Ukhti, saya Cuma ingin menyampaikan bincisan kecil ini buat Ukhti Ria, tolong sampaikan ya! Dan jangan dibaca dulu sebelum Ukhti Ria yang membacanya.” Sahut Arif. ”Iya Akhi Insyaallah.” balas Ukhti Hidayah. ”Ya sudah, Syukron katsiron. Jazakillahu ahsanal jaza’...! Sahut Arif sambil melambaikan tangan.

Sudah hampir dua hari aku menunggu jawaban dari Ukhti...Akhirnya, pagi itu...! Pagi yang amat cerah, sementara sang surya utuh menampakkan sinarnya, hembusan kencang awan pagi membuatku belum cukup punya nyali untuk menerima jawaban yang diberikan oleh Ukhti. Ku mencoba untuk tenangkan diri, bibir bergetar melantunkan ayatullah ”Robbissrohli shodri wayassirlii amri wahlul ukdatan min lisaani yafqahuu khouli”, tubuhku tiba-tiba menggigil kedinginan, ketika Ukhti Ria memberikan sesuatu kepadaku. Yeap’s! seuntai kata yang tertuliskan di selembar kertas warna merah muda, kemudian dimasukkanya ke dalam buku kecil nadham jurumiyah. Ternyata itu adalah jawaban yang diberikan oleh Ukhti kepadaku. Malam itu adalah merupakan malam bersejarah bagi kehidupanku, yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan di sepanjang denyut nadiku. Setelah menata hati, ku ambil surat yang diberikan oleh Ukhti yang berada diatas meja belajarku. Ku awali membuka surat itu dengan membaca Basmalah ”Bismillahirrahmaanirrahim”, tanganku gemetar ketika ingin membaca surat itu. Kemudian kulepaslah pita yang diikatkan pada amplop surat, kubaca dengan suara lirih, didalamnya berisikan kata-kata penuh makna. Astagfirullah! Tiba-tiba hatiku terkejut ketika membaca isi surat pada paragraf terakhir, pada akhiran surat tertuliskan:

Bukan maksudku menyakiti hati
Diriku hanya tidak ingin membuatmu menjadi rapuh
Ku tak ingin engkau terombang-ambing
Sebagaimana ranting pohon yang di terjang angin
Sebenarnya....diriku sudah ada yang memiliki
Satu minggu sebelum engkau mengirimkan surat kepadaku, aku sudah di khitbah oleh Ilham mishbahul munir, putra dari Ustadz Rohman! Maafkan aku Akhi, semoga engkau mendapatkan pengganti yang lebih baik dari pada aku. Sekali lagi maafkanlah aku.....!

Kurapatkan jaket. Kupeluk kedua lutut menempel di dada, bertopang dagu sambil melamun. Hatiku hancur berkeping-keping seperti ceriping yang digiling-giling setelah selesai membaca surat itu. Diriku berada didalam kesedihan yang berkepanjangan, tubuhku yang kurus tampak semakin terlihat kurus. Wajahku tampak kusut tak bercahaya, bayang-bayang wajahnya masih saja terus menghantuiku....! Uuch...! sungguh terasa perih hatiku, sungguh diriku sudah tidak ada gunanya lagi untuk hidup.
”Sedih ya sedih, tapi jangan menyiksa diri sendiri seperti itu dong!” kata Arif menasehati sambil memegang pundak kananku.
”Habis, kok bisa-bisanya cintaku yang tulus berbalik menusukku seperti ini, apa salahku Rif?” sahutku sedih.
”Kamu tidak salah Abdul, tetapi..cinta kamu yang terlalu berlebihan itu yang membuat kamu menjadi tidak siap untuk menghadapi cobaan ini. Kebahagiaan atas cinta pada manusia itu terbatas masa berlakunya. Beda banget dengan cinta sama Allah. Cinta Allah itu indah, kekal, tanpa pamrih, dan gak kenal kata putus.....! Ayo Abdul semangat...tunjukin sama Allah bahwa kamu itu Ikhwan yang tabah dan kuat dalam menghadapi cobaan. Dan yakinlah, sesungguhnya dengan mengingat Allah hati kita akan menjadi tenang.” kata Arif menghibur.
”Iya Rif, apa yang kamu katakan itu benar, cinta kepada makhluk itu sifatnya hanya sementara. Berbeda halnya cinta kepada Allah. Sesungguhnya, masih banyak lagi sesuatu yang jauh lebih bermanfaat yang harus aku kerjakan, dibandingkan saya terus menerus terpuruk dalam kesedihan.” kataku sambil berdiri.
”Nah, begitu dong...! itu baru sahabatku...!” sahut Arif sambil mengacungkan ibu jari tangannya. Akhirnya kamipun tersenyum bersama, dan ku dekap erat tubuh Arif sambil menggenggam jari tangannya.

Pesan; ” Cintailah orang yang mencintaimu sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau cintai akan berbalik membencimu pada suatu masa, dan Bencilah orang yang membencimu sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau benci akan berbalik mencintaimu pada suatu masa.”
PROFIL PENULIS
Nama ; Achmad Nursalim,
Biasa di panggil ; Saleem ahmad
Alamat ; Purwodadi-semarang, Jateng. 
Aktivitas ; Belajar sambil menulis di Ma'had Aly An-nuaimy


SENYUMAN AIR MATA

Oleh Aqila

Aku menerawang jauh menembus rintik-rintik hujan dari bilik
aku telah melebur manjadi satu. Di sana tiada ego yang menjauhkan, hanya ada tali suci jendela kamarku. Ada rasa rindu bercampur rasa perih bergumpal-gumpal di dada. Aku kembali duduk di atas tempat tidur. Ku alihkan pandanganku ke sebuah foto.
....
Kapan cinta berbunga di dalam bulir air mata?
Cinta berbunga dalam bulir air mata, akan berbunga apabila antara kamu dan yang mengikat. Cinta yang terbungkus dalam keimanan, mengungguli kekuatan akal dan logika. Itulah fitrah cintaku padamu. Impianku hidup bersamamu!
....
“Inilah kata-kata yang ingin aku sampaikan padamu. Namun, aku sudah terlambat, lebih tepatnya aku tak mungkin menyampaikannya,” desahku sembari memandangi foto seseorang. Seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Seseorang yang sudah 3 tahun terakhir ini mengisi kesendirian hidupku. Seseorang itu bernama Fitrah Dinda.
12 Agustus 2008...
“Mas Fadli!” panggil seseorang.
“Iya, ada apa?” sapaku dengan bertanya.
“Mas yang jadi ketua Forum Remaja Muslim ‘kan? Ehm... aku mau daftar jadi anggota, bisa nggak?” tanya cewek itu.
“Ya bisalah... kamu tinggal datang ke acara FRM Jumat besok, Nggak dipungut biaya ko! Nama anti siapa?” tanyaku.
“Nama ana... Fitrah!” jawabnya.
“Nama yang cantik seperti orangnya! Astaghfirullah.. pikiran apa ini!” batinku.
“Ya sudah mas, Fitrah duluan... Assalamu’alaikum...,” ucap Fitrah.
“Wa’alaikumsalam...,”jawabku.
Di taman kampus inilah...awal perkenalanku dengannya.
♥♥

13 September 2008...
“Hari ini.. aku nggak bertemu mas Fadli! Mas Fadli kemana, mbak?” tanya Fitrah seusai kegiatan FRM.
“Fadli... lagi di kelas. Dia sakit!” jawab Mira.
“Mas Fadli sakit?! Ya Allah... Fitrah duluan ya, mbak!” seru Fitrah yang langsung lari entah kemana. Mira hanya bisa terpaku melihat sikap Fitrah yang seperti itu.

Di kelas...
Ruangan ini terasa sunyi senyap, hanya aku yang duduk dengan mata terpejam di dalamnya. Aku mencoba merasakan rasa sakitku.
“Mas Fadli nggak apa-apa?!” seru seseorang yang langsung menyentuh keningku.
“Astaghfirullahaladzim..!” seruku terbangun. Ku dapati Fitrah dengan kerut kekhawatiran.
“Mas sakit apa? Sudah makan? Sudah minum obat? Apa yang mas rasakan sekarang?” tanya Fitrah memburuku.
“Cuma pusing, nggak perlu khawatir!” jawabku.
“Adik belikan teh hangat, ya?” lanjut Fitrah.
“Nggak perlu..,” bantahku.
“Nggak! Adik mau belikan teh hangat dulu!” bantah balik Fitrah.
Tanpa aku sadari... dari peristiwa inilah aku mulai menyayanginya lebih dari adik.
♥♥

4 Oktober 2008..
Hari ini ada baksos untuk anak yatim piatu. Kebetulan sekali salah satu relawannya adalah Fitrah. Kini... aku sedang memperhatikan dia dari kejauhan, tampaknya dia sudah kelelahan.
“Assalamu’alaikum... Fitrah capek? Sudah makan? Wajah kamu pucat? Kamu sakit?” tanyaku. Guratan kecemasan di wajahku mungkin sudah dilihat olehnya.
“Adik cuma sakit maag! Bentar lagi juga sembuh kalau di buat aktifitas!” bantah Fitrah. Aku ragu akan hal itu, apalagi dengan wajahnya yang memucat. Tanpa pikir panjang, aku menarik pergelangan tangannya untuk istirahat dari tepi jalan.
“Astaghfirullahaladzim...maaf, mas sudah berani menggenggam jemari adik!” seruku tersadar.
“Nggak apa-apa kok, mas!” seru balik Fitrah.
“Ya Allah... apa yang terjadi dengan degupan jantungku? Kenapa debarannya berbeda, saat mas Fadli menggenggam jemariku?” tanya Fitrah dalam hati.

26 Oktober 2008...
Cinta itu seperti cahaya yang mengalir manis di sela-sela hati. Sebenarnya.. apa yang telah aku rasakan untuk Fitrah? Apa kau memang mencintainya atau sekedar rasa sayang kepada seorang adik?
“Fitrah bicara dengan siapa?” tanya batinku setelah aku mendapati Fitrah dengan seorang cowok berdiri di depan mushola kampus.
“Cowok itu! Sepertinya aku kenal. Kenapa terlihat akrab sekali?” tanyaku sekali lagi.
Ada rasa sakit dan kecewa yang tiba-tiba hinggap di hatiku. Mungkinkah ini yang dinamakan cemburu?
♥♥

17 November 2008....
Kali ini... aku sudah memastikan perasaanku untuknya. Aku mencintainya. Apakah aku harus menyatakannya? Aku takut kalau dia tak memiliki perasaan yang sama, tapi mungkin saja perasaan kita sama? Sepertinya ada kebimbangan untuk menjawab pertanyaan ini!
“Nggak perlu bimbang! Dia juga suka sama kamu!” seru Mira.
“Kamu bisa baca pikiran aku?” tanyaku. Mira hanya tersenyum.
“Fitrah juga mencintaimu! Aku tahu ketika Fitrah langsung lari saat dia tahu kamu sakit. Mungkin dia belum menyadarinya, tapi matanya sudah berbicara,” jelas Mira.
“Alhamdulillah...,” desahku.

23 November 2008...
Hari ini.. aku menyatakan perasaanku. Sedikit gugup! Ya.. itu pasti! Tapi... daripada aku pendam dan jadi penyakit, lebih baik aku menyatakannya.
“Mas mau ngomong apa?’ tanya Fitrah membuyarkan pikiranku.
“Bismillaahir Rohmaanir Rohiim... Ana behibek!” seruku. Aku bisa menebak jawabannya pasti TIDAK! Terlihat dari ekspresi Fitrah yang terkejut dan sedikit kerut di alisnya..
“Ehm... haah... Bismillaahir Rohmaanir Rohiim... Ana behibak!” jawab Fitrah.
Ya Allah... akhirnya rasa sesak di dada ini sudah terobati. Alhamdulillah... Selang beberapa bulan, aku memperkenalkan Fitrah ke keluargaku, terutama ibu. Ibuku menyetujui hubungan ini. Kuliahku lancar dan pertengahan tahun 2009 ini.. aku sudah wisuda.
♥♥

Di tahun 2010... aku mendapatkan berkah yang luar biasa. Aku bisa satu tempat kerja dengan Fitrah. Kita sama-sama mengajar di Pesantren Darus Salam. Di tahun ini pulalah.. aku beritikad untuk menjadikan Fitrah sebagai mukhrimku.
“Adik sayang mas!” ucap Fitrah berseri-seri.
“Mas juga sayang adik! Adik kelihatannya bahagia. Memang ada apa?” lanjutku.
“Karena hubungan kita lancar sampai sekarang, mas!” seru Fitrah. Aku juga tersenyum bahagia. Rencananya tepat tanggal 1 Mei, aku akan melamarnya. Namun, akhir-akhir ini kau sering ketakutan. Aku takut kehilangan Fitrah.

1 Mei 2010...
Aku tidak tahu, apa yang ingin Fitrah sampaikan?! Tapi, kedengarannya itu sangat penting. Aku melihat dia bermuram durja duduk sendiri di taman. Hatiku semakin tak karuan. Sebenarnya ada apa?
“Abi dan umi berencana menjodohkan Fitrah, mas!”seru Fitrah.
“Fitrah dijodohkan dengan seorang ustadz lulusan dari Yaman. Namanya ustadz Abid!” lanjut Fitrah.
“Fitrah sudah memperjuangkan hubungan kita, tapi abi tetap pada pendiriannya. Fitrah sekarang harus bagaimana sekarang?” tanya Fitrah yang mulai menangis.
“Ya Allah...,” desahku.
“Fitrah seakan-akan jatuh dalam dua cinta, tak bisa menolak juga tak mau kehilangan!” lanjut Fitrah.

Aku tahu apa yang dia maksud! Fitrah tak mungkin mengecewakan abi dan uminya. Begitu juga denganku, kalau aku diposisi Fitrah. Aku juga tak mungkin mengecewakan orang tuaku. Di satu sisi, Fitrah juga tak ingin melepaskanku.
“Astaghfirullah... Bismillaahir Rohmaanir Rohiim. Turuti permintaan orang tuamu, dik! Insya allah..pilihan orang tuamu akan lebih baik dari aku.

Insya allah... dialah jodoh yang disiapkan oleh Allah SWT untuk adik dan dialah yang sepadan untuk adik! Adik pasti akan bahagia dengannya!” jelasku meski hati ini perih untuk mengatakannya.
“Mas nggak mau memperjuangkan hubungan kita?!” seru Fitrah sedikit emosi.
“Bukannya aku nggak mau, tapi aku nggak bisa menjadikanmu sebagai anak durhaka!” jawabku.
Aku tahu Fitrah kecewa mendengar pernyataan dariku. Aku juga terluka,Fitrah.... Tidak akan ada orang yang mau merelakan kekasih hatinya untuk orang lain.
♥♥

19 Juni 2010...
Aku melihat diriku memang tak berguna untuk Fitrah di depan cermin.
“Ijab kabulnya pukul 09.00! Sekarang sudah 08.30, 30 menit lagi kekasihku pergi! Sebaiknya aku berangkat sekarang,” gumamku.
• Benar dugaanku, rumah Fitrah sudah penuh dengan orang. Sekilas.. aku melihat calonnya, dia memang tampan dan terlihat cerdas tak sebanding dengan diriku. Di satu sisi...

Di balik cadar, Fitrah diam-diam menitihkan air mata.
“Bagaiman bisa seperti ini? Aku menikah dengan seseorang yang tak ku cintai!” ucap Fitrah lirih.
“Melihat raut umi yang bahagia, aku tak tega untuk mengecewakannya!” lanjut Fitrah. Tepat pukul 09.00...
“Saya terima nikah dan kawinnya Fitrah Dinda binti Muhammad Usman dengan maskawin tersebut di bayar tunai,” ucap Abid.
“Ya Allah...,”desahku menunduk dengan meneteskan air mata.

Setelah itu...
Aku menghampiri mereka. Raut wajahku yang terluka sudah terlihat oleh Fitrah. Aku tersenyum manis sebisaku, walau sedikit memaksa.
“Mas Abid, Fitrah boleh bicara sama mas Fadli sebentar?” tanya Fitrah.
“Dia teman adik, ya! Berarti teman mas juga, dong!? Ya..boleh!” jawab Abid. Di taman..
“Ini yang mas inginkan, bukan?’ tanya Fitrah. Aku hanya bisa diam.
“Ini yang terbaik buat adik!” seruku tersenyum walau menitihkan air mata.
“Astaghfirullahaldzim... maafkan mas, dik! Mas telah menjadi pecundang dalam cinta kita. Sampai sekarang, tak ada yang mampu menggantikan posisi adik di hati mas,” desahku dengan mendekap fotonya.
PROFIL PENULIS
Namaku aqilah dzakiyyah. Aku lahir di atas bumi ALLAH ini pada tanggal 1 mei 1993. Uhm.. hobbyku menuis dan karate. oh y, nama facebook ku aqilah dzakiyyah.


KESABARAN DAN KEMULIAAN

 
Cerpen Destriana Putri Wulandari

Di sebuah desa, terdapat sebuah kerajaan yang sangat indah. Disana terdapat taman-taman bunga yang harum dan segar. Di kerajaan itu, hidup seorang Raja dan Ratu yang sangat arif, adil dan bijaksana. Mereka mempunyai seorang putra yang bernama Khalil Gibran, dia sering di panggil Pangeran Gibran.

Pada suatu hari, Pangeran Gibran mendapat tugas dari sang Ayah untuk mencari jati dirinya yang sesungguhnya, dengan satu syarat Gibran harus mendapatkan seorang pendamping yang tepat untuk membimbingnya.
"Wahai anakku, ku perintahkan kau berkelana untuk mencari jati dirimu yang sesungguhnya,"ucap Raja dengan serius. "Untuk apa Ayah, bukankah aku sudah bisa mencari jati diri di sekitar kerajaan ini saja?" Bertanya dengan seriusnya . "Ayah hanya ingin kau mandiri anakku, dengan tidak bergantung bahwa kau adalah putra seorang raja." "Baiklah aku akan menuruti kehendakmu Ayahku" "Tapi dengan satu syarat," ucap sang raja. "Kenapa harus ada syaratnya Yah. Apakah baginda tidak percaya dengan anakmu ini?" Penuh pertanyaan dalam benaknya. "Bukan aku tidak percaya anakku tapi, aku ingin kau berhasil dengan mencarian mu ini" "Memang apa Ayah syaratnya?" "Syaratnya tidak terlalu sulit, kau hanya tinggal mencari seorang teman yang bisa kau ajak berbagi suka dan duka dan sabar menemanimu, selama kau menjalankan tugas dariku. " Dengan tenang Raja menjelaskan. "Baiklah Ayah! Setelah aku mendapatkan seorang teman seperti yang kau inginkan, aku akan langsung berangkat dalam pencarian jati diriku." Dengan tersenyum, dia menjawab.

Keesokan harinya, diumumkan kepada semua rakyat barang siapa yang paling bisa sabar dia akan dipilih untuk menemani Pangeran, mencari jati dirinya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu tapi, bulan berganti bulan, Pangeran belum juga mendapatkan orang yang dicarinya. Akhirnya Pangeran pamit ke Raja untuk meminta izin mencari sendiri orang yang akan menemaninya. Sang Rajapun mengizinkan, dengan syarat dalam waktu seminggu Pangeran sudah harus menemukannya.

Dihari pertama pencariannya, dia bertemu dengan seorang gadis. Dia melihat kehebatan gadis itu berburu, dengan lincah gadis itu menggerak-gerakkan panahnya. Pangeran tidak menyangka, bahwa ada seorang gadis yang berpakaian jilbab rapi dan menutup semua badan denga balutan jubah yang rapi, bisa memanah sehebat itu. Pangeran mendekat seraya berkata "Hei kau!! Maukah kau mengajariku memenah?" Sang Pangeran mendekat. "Siapa kamu?" Ucap gadis itu. "Aku seorang pengembara yang ingin berburu." Dia sedikit berbohong. "Dari mana asalmu?" Ucap gadis itu lagi. "Dari Desa sebelah." Ujarnya. Begitu terus mereka bercakap-cakap, akhirnya gadis itu mau menemani dan mengajari Pangeran berburu. Pangeran yang tadinya tidak pernah berburu, maka dari itu sulit untuknya memahami ucapan gadis itu, tapi gadis itu tetap sabar mengajari Pangeran. Hari pertama Pangeran mulai bisa mengusai buruannya, sang gadis tetap sabar menuggu Pangeran sampai mendapatkan buruannya yang pertama. Hari sudah semakin petang. Sang gadis bertanyaan sesuatu kepada Pangeran. "Kamu tinggal dimana untuk sementara ini?" "Aku juga tidak tahu dimana aku harus tinggal, mungkin jika di luar hutan seperti ini aku bisa di makan binatang buas." Ujarnya sedikit bercanda. "Jika kamu tidak keberatan, mari istirahat di gubuku untuk beberapa hari." Tawar sang gadis. Tanpa berpikir panjang, Pangeran langsung mengiyakan tawaran gadis itu.

Setelah sampai di rumah gadis itu, Pangeran terkejut, ternyata sebuah Istana sangat besar yang ada di depan matanya."Inilah gubuku yang aku katakan tadi kepadamu." Suara gadis itu memecahkan lamunan Pangeran. "Emm….., iyaa." Pangeran kikuk. "Mari masuk." Ajak gadis itu. "Ternyata sungguh tidak disangka, gadis habit berburu itu adalah putri seorang Raja." Guman Pangeran dalam hati. Ketika melihat sang putri datang, Ayah gadis itu tersenyum heran melihat gadis itu membawa seorang teman."Siapa itu, nak?" Tanya Raja. "Dia adalah teman baru ku Yah, dia sedang berkelana di hutan, jadi aku ajak saja dia ke tempat kita, aku rasa Ayah juga tidak akan marah." Raja hanya tersenyum, dan sangat senang anaknya mendapat kan seorang teman, yang tanpan dan gagah seperti Gibra, walaupun seorang laki-laki dia percaya bahwa anaknya tetap menjaga kemuhrimannya. Raja memang tidak mengetahui asal-usul Gibran, tapi dia yakin anaknya tidak mungkin sembarangan memilih teman. Sang Raja, tidak pernah membedakan orang biasa maupun bangsawan, bagi Raja yang terpenting Iman dan Taqwanya terhadap Allah SWT.

Keesokan harinya Pangeran dan gadis itu menghabiskan waktu untuk berburu. Pangeran memperhatikan tingkah laku gadis itu, yang selalu sabar mengajarinya, sampai-sampai membuatnya lupa akan satu hal, dia belum mengetahui nama gadis itu. Pangeran berhenti sejenak, dan beristirahat di tepi sungai, gadis itu mengikuti dari belakang. Pangeran memecahkan keheningan, bertanya sesuatu pada gadis itu. "Sejak kemarin kita bertemu, aku dan kamu bahkan belum tahu nama kita masing-masing." "Sebenarnya aku juga ingin menanyakan hal yang sama, tapi aku sungkan." Ucap gadis malu-malu. "Perkenalkan namaku Khalil Gibran" Dengan meletakan tangannya di depan dada "Nama yang jarang ku dengar, tapi mudah di ingat. Namaku sendiri Asyifa Hanin." Dengan meletakan juga tangannya di depan dada."Nama yang begitu indah terdengar, dan cantik seperti yang memiliki nama itu." Putri Syifa tersipu malu, dengan pipi yang memerah merona, semakin menambah pesona pada dirinya. "Kamu sudah mengajakku kerumahmu dan mengenalkan ku pada orangtuamu, besok maukah kau ikut dengan ku?" "Kemana?" Putri merasa penasaran. "Ke suatu tempat, pasti kau akan suka." Pangeran begitu yakin."Baiklah, tapi kamu harus janji tempat itu haruslah sangat indah.""Ok!" Jawab Pangeran singkat.

Pagi-pagi sekali Pangeran dan Putri Syifa berangkat menuju tempat yang Pangeran janjikan. Sesampainya mereka berdua, ternyat Putri Asyifa sama terkejutnya seperti Pangeran beberapa hari yang lalu. Dia tidak menyangkan bahwa Gibran akan membawanya ketempat yang sangant indah itu, disana terdapat taman bunga yang sangat indah, beratus-ratus bunga yang tertanan disana, aromanya begitu segar masuk ke hidung hingga ke saraf-saraf terdalam Putri Syifa. "Syifa", sapa Gibran, Syifa langsung terkejut dari lamunanya itu. "Mari masuk ajak Gibran." Tapi syifa agak ragu, sebab dia tidak mengetahui jika Istana yang ada dihadapannya itu adalah tempat tinggal Gibran. "Jangan ragu, nanti kamu akan tahu sendiri seluruh isi Istana ini dan siapa yang memilikinya." Ajak Gibra. Tanpa ada rasa ragu lagi akhirnya Syifa mengaguk setuju.

Setelah mereka berdua masuk, Syifa terkejut ketika melihat semua pelayan yang berada disitu melakukan Gibran sangat istimewa. Tapi Syifa hanya diam, biar nanti Gibran sendiri yang menjelaskan gumannya dalam hati. Sejak masuk ke Istana Pangeran tidak banyak bicara, dan dia pun belum mau mempertemukan Syifa dengan kedua orangtuanya. Pangeran hanya mempersilahkan Syifa masuk dan menunggunya di ruang makan. Hari semakin sore, tapi Pangeran Gibran juga belum kembali dan muncul di hadapannya untuk menjelaskan apa yang terjadi dan Istana siapa ini sebenarnya. Penuh segudang pertannyan di hati Putri Asyifa.

Sementara di dalam sana, Pangeran sedang memperhatikan Asyifa yang sejak dari tadi siyang menunggunya, dia sholat sendiri bahkan untuk mencari tempat wudhu saja dia seorang diri untuk memutari Istana yang luas itu. Ternyata dibalik ini semua Pangeran mempunyai rencana yang tersembunyi, dia sedang menguji Asyifa, apakah Asyifa bisa sabar menunggunya di depan meja makan yang disitu terdapat berbagai macam makanan yang lezat-lezat, padahal Pangeran sendiri pun tahu bahwa Asyifa belum makan sejak tadi siyang sampai hamper larut malam ini.

Dibelakang ternyata Pangeran tidak sendiri, dia ditemani sang Raja dan Ratu. Disitu juga dia menceritakan siapa Syifa sebenarnya, dan untuk apa dia membawanya kesitu. Dia menjelaskan kepada kedua orangtuanya, bahwa dia ingin orang yang menemaninya untuk mencari jati diri itu adalah Asyifa. Kedua orangtuanya sangat terkejut medengarnya, tapi Gibran tidak henti-hentinya meyakikan orangtuanya bahwa Syifalah yang pantas untuk menemaninya, karena sejak pertama bertemu sampai saat ini Syifa telah sabar untuk mengajari dan menemaninya berburu, hingga sekarang syifa tetap menunggunya, betapa kagumnya Raja dan Ratu mendengar dan melihat langsung apa yang dikatakan anaknya itu terutama Pangeran Gibran.

Akhirnya munculah Raja, Ratu dan Pangeran Gibran. Betapa terkejutnya Asyifa melihat mereka semua. Sang Ratu menghampirinya, "Jangan takut kami berdua adalah orangtua Gibran, Nak. Siapakah gerangan namamu gadis cantik?" Ratu tersemyum lebar. "Asyifa Ratu." Ucapnya dengan lembut. "Nama yang indah," ucap Ratu. "Apakah kamu siap, nak mendampingi anakku Gibran ini mengembara?" Putri terdiam sejenak, karena bingung dengan pertanyaan Raja. Pangeran Gibrab langsung angkat bicara, "Begini Ayahanda, saya belum memberitahu tentang hal itu, Kesabaran dan Kemuliaan yang dia miliki murni Ayah, bukan karena apa-apa." "Wahai Gibran anakku, kau memang tidak salah memilih, kau memang mendapatkan seperti apa yang Ayah dan Ibumu inginkan." "Asyifa." "Iya, Baginda." Ucap Syifa. "Maukah kau mendampingi anakku selamanya, bukan hanya mengembara, tapi lebih dari itu?" "Apapun yang Baginda inginkan InsyaAllah saya akan menjalankannya dengan ikhlas," Ucapnya dengan lembut dan penuh dengan ketulusan. "Bagaimana Gibran, apa kau setuju dengan Ayah?" "Seperti yang Ayah lihat," Ujarnya. "Baiklah, besok aku akan ke Istanamu, untuk memintamu menjadi Putri di Kerajaan ini." Ucap Raja dengan lantang.

Tiga bulan berlalu, setelah Gibran dan Asyifa menikah dan menjalani bulan madu, akhirnya mereka melanjutkan pengembaraan mereka. Sepajang pengembaraanya, Pangeran Gibran sangat bahagia, karena dia didampingi oleh seorang Putri yang sangat sabar dan mulia hatinya, yaitu Putri Asyifa.
THE END

PROFIL PENULIS
Nama : Destriana Putri Wulandari
TTL : Sampit, 12 Desember 1994
Sekolah : MAN Tambakberas
Hobby : Baca, Nulis
Facebook : Destri Asyifa Luthfy 


TETESAN EMBUN CINTA

 
 
Cerpen Abdul Rahman Malik 

Tahun 2008 dimana aku masih duduk di bangku SD, dan masih meraskan jiwa kekanak-kanakan dan kegemaran bermain, aku tumbuh sebagai anak lelaki yang suatu saat kan jadi harapan keluarga. Karena aku adalah anak laki-laki kedua, dan kakakku kini telah berkeluarga. Maka akupun kelak yang akan diandalkan.

Sebetulnya aku yang pendiam, lugu, dan tak punya keberania besar. Tapi keterikatanku dengan dunia masa kecil masih melekat, akupun tetap menyempatkan waktu untuk bermain bersama teman-teman yang akrab. Hanya saja terkadang aku memilih teman yang enak dan bersahabat untuk aku ajak bermain.
“Pak, Ilman berangkat sekolah dulu ya, sekalian minta uang jajan buat hari ini….”. Ilman adalah nama panggilanku sehari-hari, nama yang diberikan bapak tujuh tahun yang lalu setelah ibu melahirkanku yang lengkapnya, Maulana izdadna Ilman.
“ iya, Man ni uang jajannya, ingat pulang sekolah jangan ngelayab kemana-mana, pulang langsung kerumah!”… jawab bapakku dengan mengulurkan tangan berisi uang seribu lima ratus rupiah.
Biasanya yang selalu member uang jajan tiap hari ialah ibu, namun hari ini ibu sudah berangkat ke pasar duluan, jadilah bapak yang jadi gantinya. Karena bapak sendiri selalu ada dirumah jikalau tidak berangkat merantau ke seberang pulau.

Sekolahku tak jauh dari rumah, dengan jalan kakipun bisa aku tempuh, cukup lima menit sampai. SD yang dikatakan Negri kedua di desaku. Karena tepat disampingnya ada SD Negeri I yang menghadap kej raya. Walaupun demikian, Dua SD yang berdampingan itu tetap berhubungan baik , baik itu guru-gurunya ataupun murid-muridnya. Sementara, aku kini duduk di kelas 2 SD Negeri 2, Setiap hari aku selalu berangkat gasik walaupun sebenarnya aku masuk kelas dimulai jam setengah sepuluh setelah kelas 1 pulang. Aku merasa dengan demikian aku bisa belajar dahulu di pinggir kantin sekolah bersama Bu endah, sang penjaga kantin. Atau sering juga ketika tidak ada PR, aku malah bermain dengan teman akrabku yang sama selalu berangkat gasik, Rayhan namanya.
“ Han, hari ini ada PR gak? Kalau gak ada, yuk kita main kelereng saja! “ ajak aku. Kebetulan murid kelas dua SD Negeri 2 yang baru berangkat hanya aku dan Rayhan.
“ Kayanya gak ada man, soalnya kemarin Ibu Tini gak ngasih PR” jawab Reyhan dengan menambahi Ibu Tini yang juga mengajar kelas 2.
“ Ya sudah, kita bermain kelereng. Nih, aku punya sepuluh butir, nanti kita bagi dua” Tutur aku sambil meyakinkan.

Kita berdua bermain kelereng di halaman tepat di depan kelas satu yang tempatnya di ujung, berdampingan dengan sebelahnya SD Negeri 1. Ditengah asyiknya bermain, terdengar suara obrolan anak-anak perempuan di samping. Ketika aku menengok kearah suara itu, ternyata ada siswi-siswi SD negri 1 sedang asyik ngobrol, sambil tertawa-tawa di kursi panjang depan kelas.

Namun, tampak seorang siswi yang berkerudung putih, dengan memakai seragam merah putihnya seolah-olah berbeda dengan teman lainya yang tidak mengenakan kerudung. Akupun sedikit keheranan melihatnya. Pesona kecantikan Siswi SD itu membuat aku bertanya-tanya, siapa dia? Mengapa dia memakai kerudung putih, tidak seperti umumnya anak SD negeri? Tambah dengan merasa kagum akan sikap pendiamnya sambil memegang sebuah buku sedang dibacanya. Sungguh membuat aku ini terpana, seakan melihat putri permaisuri kecil bercanangkan kerudung putih indah dipandang.

Setelah berhari-hari aku menyimpan memori bayangan siswi SD Negeri 1 itu, akhirnya akupun tahu sedikit tentang dia. hanya sebatas kenal. Maklum aku akui, karena SD aku masih kecil tentang hal-hal percintaan dan belum pantas. Tapi rasa kagumku padanya akan senantiasa membekas, karena sosoknyalah yang pertama kali mengucurkan teteskan embun kekaguman di hatiku.

Nayla namanya, Nayla Muna Awwalina. Aku tau dia dari Reyhan, teman terdekatku. Nayla sebetulnya bukan asli anak desa dimana SD Negeri 1 dan 2 berada, dia berasal dari desa sebelah, dia pergi sekolah tiap hari dengan jalan kaki. Selalu berangkat awal dibanding yang lain. Ternyata, dia juga sama duduk di kelas dua. Karenanya, aku sering menjumpai dia menyempatkan belajar di kursi kecil depan kelasnya sebelum bel berbunyi. Karena berbeda sekolah, akupun tidak bisa bermain dekat dengan dia. Apalagi aku sendiri anak yang pemalu dan jarang bermain dengan anak perempuan.

Selama aku masih duduk di bangku SD, perasaan itu hanya tersimpan di benak, tak pernah terletupkan ucapan tentang kekagumanku pada Nayla kepada siapapun, kecuali Reyhan sendiri. Karena ia satu-satunya teman yang selalu mengertikanku. Sampai ia pun sering memberi tahu kabar tentang Nayla yang belum pernah aku ketahui. Reyhan memberitahuku bahwa nayla setiap malam selalu mengaji al qur’an di pondok kecil dekat rumahnya, dan itu berjalan sampai Nayla sekarang kelas 5 SD begitu juga aku.
*****

Di awal aku menduduki bangku kelas 5 SD, aku bulatkan tekad untuk ikut mengaji al qur’an ditempat Nayla setiap malam mengaji. Walaupun jauh, tapi ini adalah pengorbananku untuk bisa melihat Nayla setiap hari, pagi hari di Sekolah tapi itu jarang karena sekolah yang berbeda, atau malam harinya di pondok walau tidak dalam satu kelas. Yang penting bisa melihat Nayla walau dari jauh.
Aku merasa mondok disana banyak hal baru yang aku jumpai. Pertama, aku harus berangkat setelah shalat maghrib dari rumah dengan mengendarai sepeda, setelah sampai aku dipertemukan dengan asatidz yang galak-galak, Ust. Furqon salah satunya. Setiap kali ada santri yang masih berkeliaran belum masuk ke kelas, Ia siap siaga dengan memegang pentungannya untuk menakut-nakuti. Pada saat-saat itulah, muncul rombongan santriwati yang melenggangkan badan berjalan menuju pondok dari sebelah utara pondok, dengan menenteng tas di bahunya dan kitab-kitab di dekap di dadanya. Tersenyum aku melihatnya, karena dari kerumunan santriwati itu, satu diantaranya ada Nayla. Ya Nayla yang selama ini aku kejar agar bisa selalu memandang wajah sholihahnya, kelembutan sikap kesehariannya dan kealimannya.
*****

Setahun kemudian…
Aku sudah terbiasa dengan kegiatan dan kebiasaan di Pondok itu dan banyak mendapat pelajaran, walau hanya menghabiskan waktu dari habis maghrib sampai habis sekitar jam setengah sembilan malaman. Aku merasa gembira, aku bisa ikut mengaji disini, walau tujuan awalnya yang salah. Mengaji hanya untuk melihat Nayla.

Suatu malam setelah pulang dari pesantren, aku mampir dahulu di pedagang siomay dekat pesantren. Tak ku kira ternyata tepat di sampingku ada Nayla yang juga sedang membeli siomay. Tiba-tiba dia memandangku dengan senyuman manisnya sambil mengucapkan,
“assalamu ‘alaikum…. kamu anak desa sebelah kan?” Tanya Nayla sambil memancarkan aura ketulusannya.
“wa wa wa ‘alaikum salam….” Aku jawab dengan sedikit kaget dan terbata-bata.
“IIIyya,,, neng ” jawaban dari pertanyaannya tadi dengan ucapan neng sebagai tradisi penghormatan kepada gadis perempuan, teman atau yang lebih muda.
“Neng namanya Nayla ya…??? Giliranku bertanya.

Dia tersenyum sambil manjawab,
“ Iya… kok tahu? “, Ujar Nayla dengan suara lirih dan pancaran senyum dari raut wajahnya.
“ hhhmm… yang Cuma tau aja”, jawab aku.
“ eh iyya… saya pulang duluan ya, sudah di tunggu bapak dan ibu di rumah”.
Nayla pun pergi, dan aku perhatikan dia dengan perasaan sangat-sangat bahagia. Seketika aku pandangi ia berjalan. setelah agak jauh, aku terkejut, ternyata Nayla masuk ke rumah Ust. Furqon. Deg.. rasa bahagiaku pun bercampur dengan rasa khawatir dan takut, ternyata aku baru tahu, Nayla Muna Awwalina itu Putri dari Ust. Furqon yang terkenal super galak dan sangar di pondok. Hhhmm,,,Siap aku harus menghadapi singa padang pasir itu untuk bisa bertahan sampai suatu saat aku bisa mendapatkan anaknya.
Satu tahun itu merupakan tahun pertama aku mengaji di Pondok secara kalong, bertepatan juga dengan masuknya aku di kelas 6 SD. Aku menikmati jalannya mengaji dan semua suasana di pondok.

Sampai tiba akhir tahun. Dimana aku memilih untuk melanjutkan sekolah ke SMP atau MTs. Aku sendiri sudah bulat, ingin masuk SMP agar bisa menguasai pelajaran-pelajaran umum, dan tetap melanjutkan mengaji malam di pondok untuk tambahan pelajaran agama. Rencanaku diterima dan didukung penuh oleh bapak dan ibu, karena menyadari ilmu umum juga perlu, tapi dengan tetap mengutamakan ilmu agama dengan tetap pesantren walau kalong.
*****
Setelah aku menjadi siswa SMP, Akhir-akhir ini aku merasa ada yang kurang. Setiap malam aku berangkat mengaji, entah kenapa aku tidak pernah lagi melihat pancaran wajah indah Nayla. Perasaanku tidak enak dan gelisah. Akupun tanya seorang temannya yang dulu selalu bersama Nayla di Pondok. Kaget sungguh kepalang. Sedih hati ini rasanya. Belumlah aku bisa akrab dengannya tapi dia sudah pergi dahulu. Pergi menjauh dariku. Bapaknyalah yang membuatnya pergi, Ust. Furqon. Dia melanjutkan SDnya tidak ke SMP atau MTs terdekat, tapi dia disuruh untuk melanjutkan pesantrennya di Bandung. Dengan keta’dzimannya terhadap bapaknya, diapun mengikuti apa kata bapaknya.

Bertahun-tahun aku jauh dari Nayla. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Seperti biasa aku berangkat pesantren, sepintas aku sering memandangi rumahnya, namun tak juga Nayla ada. Semenjak Nayla pergi ke Bandung, Tak pernah aku jumpai dia walau satu kalipun. Aku hanya bisa berharap, suatu saat jika Allah mentaqdirkan aku bertemu Nayla, aku yakin pasti akan bertemu kembali. Karena aku percaya taqdir Allah seperti yang diajarkan Ustadz Rahmat dalam pengajian tauhid di pondok.

Sampai akhirnya akupun selesai Ujian Akhir Nasional, kelas 3 SMP sebentar lagi berakhir. Tinggal aku siapkan rencana berikutnya. Beberapa hari setelah UAN, Malam harinnya akupun berangkat pesantren dengan menggunakan sepeda BMXku ditemani beberapa teman. Malam pertama setelah satu minggu libur untuk persiapan UAN. Malam itu, aku bertemu dan bersalaman dengan Ust. Furqon yang sedang duduk di kursi depan Kantor Pondok. Di kelas, aku bertemu Ust. Rahmat yang biasa mengajariku setiap malam, Dialah wali kelasku.

Setelah bubar dari pengajian, rasanya aku ingin membeli somay kesukaanku. Akupun mendatangi pedagang somay tak jauh dari pondok sebelum aku mengambil sepeda ditempat penitipan. Terkejut aku ketika mendengar suara perempuan dari samping kuping kananku.
“ Mang, masih ada somaynya? Nayla mau beli lima bungkus....”
“masih ada neng,,, ya mang buatin buat tong Ilman dulu ya neng….”

Ya Allah,,, akupun terkejut ketika menengok kea rah kanan, begitu juga Nayla menengok ke arah kiri ketika ia mendengar nama ILMAN dari mulut mang somay.
“Assalamu ‘alaikum Neng Nayla…? Bagaimana kabarnya? Alhamdulillah bisa bertemu kembali ya neng….” Tanya aku dengan perasaan berbinar-binar dan mata berkaca-kaca ketika memandang Nayla setelah bertahun-tahun tak bertemu, ia tumbuh sungguh lebih cantik dan sangat indah dari dahulu SD.
“Wa’alaikum salam…. Alhamdulillah baik kang Ilman….” Jawab Nayla sambil tersenyum manis.

Akupun balas senyumannya, apalagi setelah ia jawab dengan kata “kang Ilman”, Panggilan Khas dari Bandung. Dengan berusaha percaya diri, akupun coba keluarkan pertanyaan,
“Neng Nayla lagi liburan ya?...kemarin ketika UAN bagaimana? Lancar?...” lidahku mulai bebicara.
“Iya kang,,, kemarin Nayla UAN di Bandung Alhamdulillah lancar…” Naylapun menjawab lirih.
“Kalau boleh tahu… rencana Nayla setelah lulus mau melanjutkan kemana?...”
“hehhhmmm,,, kata bapak sih Nayla suruh melanjutkan pesantren lagi ke Jawa Tengah, ya Nayla ikut apa kata bapak saja”... jawaban simpel Nayla sambil mengambil bungkusan siomay yang sudah jadi sekaligus memberikan uangnya ke mang somay.
“eehhh,,, kang Ilman Nayla pulang duluan ya, tidak enak sama bapak dan ibu kalau siomaynya keburu dingin”, sambung Nayla sambil pamit mengucapkan salam,
“ Assalamu ‘alaikum… kang”
“ iya neng…wa ‘alaikum salam” aku jawab dengan senyum tersampul rasa kegembiraan.

Perjalan pulangkupun diliputi taburan rasa bahagia, sampai aku tersenyum-senyum sendiri. layaknya perasaan orang yang sudah lama ditinggal perempuan yang ia cintai, kemudian ia datang bagaikan bidadari turun dari kayangan berkerudungkan sutra putih, kulit yang putih halus bagai susu, senyuman manis lebih manis dari gula serasa, tutur bicaranya seolah butiran-butiran mutiara pelan berjatuhan, sungguh suara jawaban-jawaban dari lisannya seperti tetesan embun pagi menyejukan hati dan jiwa. Tak terbayang begitu bahagianya aku, sampai larut malampun aku tetap membayangkannya. Aku pandangi dia dari tembok kamarku seperti tayangan dalam surga. Terus dan terus bayangannya menari-nari depan kedua bola mataku. Sampai tak terasa akupun tertidur dan jatuh dalam larutan mimpi indah bersamanya.
“ Kang Ilman…. Kang…. “ Nayla membangunkanku dalam dunia tidurku.
“ aduwh… Nayla, kok bisa ada disini???”
“ Iya Kang, Nayla datang buat Kang Ilman…” ujar Nayla dengan menyimpulkan senyum manisnya.
“ Hah… Masa? Nayla datang jauh-jauh buat akang” tanyaku dengan penasaran.
“ Iya, Kang… Nayla disuruh bapak untuk bertemu akang, dia ridho seandainya suatu saat Nayla jadi pendamping hidup akang…” ucapan Nayla seolah tetesan embun pagi, akupun disejukan olehnya.
“ Ya Allah, apa ini benar… sungguh aku bersyukur padamu Ya Allah…”
“ kalau begitu akang siap… akang akan berusaha menjadi Imam yang terbaik dalam Hidupmu Nayla,,, kelak dalam rumah tangga kita”
Dug..dug…dug…(suara dari pintu kamarku) Man… Man… Baanguunn… siap-siap ambil air wudhu, sholat sama ibu,,, kamu jadi Imam ya Man…..

Akupun terperajat, sambil mengusapkan muka dengan kedua tanganku. Wuuuhhhh… ternyata Cuma mimpi. Akupun tersenyum sendiri sambil tetap mengingat-ingat bayangan Nayla.
“ Iya Bu… tunggu sebentar…” saut aku dari dalam kamar, dengan berharap ,“Ya Allah semoga apa yang aku tadi impikan bisa menjadi kenyataan”. Lalu akupun bersiap-siap untuk melakukan shalat shubuh. Salama satu minggu ini memang aku selalu jadi Imam shalat bersama Ibuku, karena bapakku dan kakak laki-lakiku sedang melakukan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Merantau ke seberang pulau.

Ibuku sudah siap di mushola. Setelah akupun siap, Aku berkata kepada ibu,
“ Mari Bu, kita shalat berjama’ah, lebih cepat lebih afdhol agar mendapat waktu fadhilahnya shalat”
“ ayu nak, baca qur’annya yang tartil dan merdu ya, biar ibu shalatnya bisa lebih khusyuk” tambahi ibu. Begitulah ibu, karena beliau selalu senang ketika dibacakan al qur’an dengan gaya suara merdu seperti di kaset-kaset.
Setelah aku dan ibu menjalankan shalat shubuh berjama’ah dengan khidmat, seperti biasa aku dan ibu saling deres al qur’an. Ketika ibu baca aku mendengarkan dan membetulkan bacaan ketika ada yang salah. Begitu juga ibu mendengarkan ketika aku membaca. Ibu sendiri karena sudah usia lanjut, beliau membaca harus dengan kaca matanya. Berbeda dengan aku. Karenanya, ibu terkadang ada bacaan yang salah lihat, akupun langsung membetulkannya.

Setelah selesai deres al qur’an bersama, aku sidikit buka bicara. Menanyakan akan mimpiku tadi.
“Bu… kalau mimpi itu benar bisa jadi kenyataan nggak sih”, aku mulai bertanya dengan gaya bahasa akrabku kepada ibu.
“Man… mimpi itu tidak semua jadi kenyataan, yang jelas mimpi itu hanya bunga tidur, kalau mimpi baik dan benar berarti datang sebagai anugrah dari Allah SWT. Kalau mimpi buruk itu berarti datang dari Syaitan. Ilman sendiri sebelum tidur baca do'a dulu tidak? “ jawab ibu dengan penjelasannya.
“Ilman baca do’a Bu… masa sudah lama ngaji di pondok lupa baca do’a sebelum tidur”, ujarku.
“ ya memangnya Ilman mimpi apa?” tanya ibu kembali.
“hhmm… gimana ya? Sebetulnya ini ada hubungannya dengan perasaan Ilman Bu”, jawabanku simpel.
Akhirnya aku ceritakan semua tentang perasaanku kepada Ibu, dari mulai aku SD kelas 2, kemudian tau dengan yang namanya Nayla, lalu akupun ikut mengaji kalongdi pondok hanya agar bisa melihat Nayla. Aku juga ceritakan karakteristik Nayla, segalanya. Sampai pada mimpiku tadi malam.

Kemudian Ibu menyimpulkan.
“Ya Sudah… Ibu sih mendukung saja, tapi Ilmankan masih kelas 3 SMP, baru saja UAN, pengumuman kelulusan juga belum. Masih lama Man mikirin yang kaya gituan. Nah… Alangkah baiknya, Ilman sekarang jadikan perasaan itu sebagi motivator yang mendorong Ilman untuk terus jadi yang terbaik, baik buat keluarga, agama, bangsa, dan Nayla juga senang kalau seandainya tahu Ilman seperti itu. Sekarang yang Ilman pikirkan, ingin kemana melanjutkan sekolah SMP?”, ibuku memberikan pencerahan diakhiri dengan pertanyaan. Akupun seketika mengiyakan ibu. Dan terpintas kemana aku akan melanjutkan sekolah.
“hhhmm… iya ya bu…” Sambil aku memanggut kepala dan berpikir, teringat bayangan Nayla ketika bertemu kemarin malam.
“ Bu, bagaimana kalau Ilman ingin mondok ke Jawa Tengah? Ilman ingin memperdalam ilmu agama sambil sekolah disana?”, Inisiatif ini, aku terinspirasi dari Nayla karena dia juga akan melanjutkan ke Jawa Tengah. Walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa dan dimana pondok pesantren di Jawa Tengah itu.
******

Santri, Asatidz, dan Kyai, nama-nama itu sudah terbiasa terdengar di telingaku. Kehidupan yang awam kini berubah dengan nuansa islami. Statusku yang dulu dirumah berubah menjadi istilah "santri". Keseharian yang dulupun berubah dengan banyak kegiatan mengaji kepada kyai dan asatidz. Suara adzanpun tak lepas dari kupingku berkumandang setiap lima waktu. Tanda akupun harus mendatangi masjid, untuk shalat berjama’ah sebagai kewajiban santri pesantren. Pesantren yang terletak di Jawa Tengah itu bernuansakan kesejukan. Lokasi yang dekat dengan Gunung Slamet membawa kedinginan setiap malam sampai shubuh tiba.

Waktu dua puluh empat jam tiap harinya dihabiskan dengan kegiatan dilingkup pesantren. Sekolah keagamaan yang masyhur dengan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) mengisi acara pagi sampai soreku, ditambah pengajian tambahan dari setelah asyar hingga larut malam. Ku rasakan semuanya begitu jauh berbeda dengan apa yang pernah ku jalani sebelumnya ketika di rumah. Namun, semua itu berjalan dengan senyuman. Karena di pesantren itulah, aku dipertemukan dengan sosok penyejuk hatiku, Nayla Muna Awwalina. Akhirnya, aku bisa bersama Nayla dalam satu pondok pesantren. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku. Hanya saja, kami tidak bisa bertemu dan bertatap muka layaknya pergaulan bebas di rumah, kami terikat oleh pesantren, penjara suci yang dikelilingi pagar yang berduri peraturan. Siapa orangnya berani menerobos pagar duri itu, dia akan terkena akibatnya. Duri itu akan melukai dirinya tanpa pandang bulu siapa orangnya. Tata tertib pesantren membuatku hanya bisa menyaksikan Nayla dari arah yang berjauhan, karena dilarang bagi kaum ajnabi berdekatan dengan bukan mahromnya.

Beberapa tahun lamanya di pesantren, semua benak perasaanku aku tanam dalam hatiku, tak berani aku berbuat yang bisa berakibat fatal bagi masa depanku. Sekali berbuat kesalahan ta'ziranpun akan datang menghantam. Entah dalam bentuk apa, aku tak mau terkena ta'ziran sekecil apapun. Aku hanya ingat pesan ibuku, “ jadikan perasaan cinta kepada seseorang itu sebagi motivator yang mendorong untuk terus jadi yang terbaik”. Dari situlah, aku bertekad, walaupun perasaanku kepada Nayla ini tersimpan dalam bathinku, aku akan buktikan, aku harus jadi yang terbaik. Setidaknya dengan demikian Nayla akan merasa kagum padaku. Dengan modal kemampuan pas-pasan, hanya lulusan SMP, akupun bejuang mati-matian agar dapatkan apa yang aku inginkan. Porsi belajarku aku tambahkan full sampai larut malam. Setiap setelah pelajaran aku rutinkan muroja’ah. Materi agama dan umum aku kuasai semua. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris aku pelajari dan selalu aku praktekan. Semua jerih payah aku kerahkan, dengan niat aku ingin bisa jadi yang terbaik, orang tuaku kan senang. Dan yang utama Naylapun akan mengetahui siapa aku.
*****

Setelah lima semester kulalui, namaku selalu terpampang di barisan rangking kesatu, kedua atau ketiga. Karena sulitnya pesaingan di kelas, aku tidak bisa konsisten di peringkat kesatu, tapi aku bersyukur karena rangking satuku tetap mendominasi. Setiap akhir semester pengumuman peringkat kelas selalu diumumkan dan dipampangkan. Akupun yakin Nayla pasti melihat hasil dari jerih payahku.

Suatu pagi, bertepatan dengan setelah pengumuman semester pertama kelas 3, ketika berangkat sekolah, aku tak sengaja bertemu papasan dengan Nayla di tangga lantai dua sebelum masuk ke kelas. Tak ku sangka, Nayla tersenyum sambil mengucapkan beberapa patah kata,
“Selamat ya Kang Ilman, atas prestasi yang diraih selama di MAK….!!!” Suara itu layaknya butiran-butiran mutiara berjatuhan dari lisan Nayla membuatku terlena kepayang.
Dengan senyum pula akupun menjawab,
”terima kasih neng, mungkin itu juga berkat do’a dan dukungan neng dari belakang, ”…. aku balas dengan sedikit kata-kata so-PD, yang aku yakin itu ada benarnya.
“Nayla ke kelas duluan kang… tidak enak kalau kelihatan orang lain”, ujar Nayla dengan mata malu.
“ Iya Neng, sekali lagi makasih”, saut aku membalas sebelum Nayla pergi.
“ Iya Kang”… Ia pergi dengan agak dicepat-cepatkan jalanya sambil tersenyum-senyum.
Akupun bergoyang-goyang bahagia, apa yang aku upayakan ternyata terbukti Naylapun menaruh rasa kagum padaku, aku terlena dengan keceriaan pagi hari itu.

Setelah semester satu kelas 3 berakhir, tinggal tancap gas terakhir untuk menuntaskan jenjang sekolah di MAK. Ujian Nasional SLTA diambang mata sekitar tiga bulan kedepan. Aku tidak bisa tinggal diam. Tidak bisa aku terlena dengan hasil baik prestasiku sebelumnya. Semua harus aku selesaikan dengan baik, dan di akhir akupun harus bisa khusnul khotimah, baik di sekolah atau juga di pesantren. Apalagi aku merasa iri kepada kakak kelas yang dahulu telah lulus, lalu bisa melanjutkan ke Universitas Negeri bahkan ke Universitas di Timur Tengah. Dari situ, aku juga berharap mudah-mudahan UAN nanti bisa berhasil dan bisa mengantarkanku ke Universitas di Timur Tengah. Walau belum terbayang dari dahulu untuk kuliah di Timur Tengah, tapi setelah aku mendapat banyak pelajaran dan kajian agama, aku mulai mengerti. Ilmu agama berasal itu dari Negri-negri Timur Tengah, khususnya Jazirah Arab, sudah pasti ketika aku belajar disana berarti aku seolah meminum air dari sumber mata airnya.
******

Beberapa bulan kemudian,
Aku dinyatakan lulus UAN dengan predikat Amat Baik. Disamping itu pula, aku mendapat pengumuman kelulusan beasiswa timur tengah. Sesuai dengan target, apa yang aku rencanakan berhasil. Kedua pengumuman itu aku terima dengan rasa bahagia, bangga dan puas. Karena jerih payahku selama di pesantren terbalaskan dengan prestasi baik. Kedua orang tuakupun takjub. Tidak percaya aku bisa seperti itu, padahal aku lulusan SMP, tapi bisa bersaing dengan teman-teman lain yang latar belakang keagamaannya lebih baik. Aku tersenyum saja,,, karena dibalik itu semua, aku termotivasi oleh sosok Nayla yang senantiasa menjadi penyemangat hidupku, gelora wajahnya selalu terpancar dalam bayanganku layaknya tetesan embun yang membasahi dedaunan di setiap pagi. Akulah si dedaunan yang beruntung itu, karena setiap aku ingat kepadanya, aku bangkit untuk berusaha menjadi yang terbaik walaupun banyak yang lebih baik dariku. Setidaknya, aku bisa dilihat baik di mata Nayla. Entah tetesan embun cinta apa yang telah merasuki tubuh ini, sehingga aku selalu merasa sejuk ketika ia hadir dalam bayanganku.
*****

Suatu ketika dimana aku di hadapkan dengan masa depanku. Aku merasa kebahagiaan ini terkikis oleh masa. Aku terpikir sejenak, akhirnya aku sadar. Aku telah salah dalam melangkah. Semua yang aku lakukan untuk agama aku lakukan dengan niatan yang salah. Bermula dari aku pesantren kalong di kampung hingga kini aku berhasil mencapai yang aku citakan. Semuanya karena Nayla, seorang perempuan biasa, yang hanya diberi kelebihan oleh Allah SWT hingga bisa menghipnotis hatiku sehingga terpedaya. Aku berjuang pesantren malam hanya untuk melihat Nayla. Aku tekadkan pesantren di Jawa Tengah hanya untuk bisa hidup lebih dekat dengan Nayla. Aku berusaha meraih prestasi terbaik hanya agar mendapat perhatian Nayla. Semua itu salah… aku tidak niatkan semua itu untuk kebaikan semata-mata karena Allah. Tapi malah karena seorang perempuan. Karena itulah aku merasa rasa bahagiaku tidak seperti hakikat kebahagiaan.

Dalam shalat istikharahku, Aku merasa bersalah Allah SWT, menggantikan kedudukan-Nya dalam niat baikku. Setelah aku bertafakkur, rasanya hati ini menuntunku tuk coba melupakan Nayla, aku tidak ingin selamanya berada dalam jalan yang salah. Karena semata-mata untuk Nayla. Walau aku yakini bahwa memang melalui Nayla lah Allah memberiku jalan kebaikan. Berkat tetesan embun cinta Nayla membuatku terangkat untuk mengikuti jalan baiknya.

Sebelum aku meninggalkan tanah air, aku bulatkan membuka lembaran hidup baru kehidupan baru, dengan tidak menggantungkan diri pada Nayla, tapi hanya pada Allah SWT semata. Dan aku yaqin, kalau seandainya memang Nayla adalah jodohku, Allah SWT tak kan menjauhkannya dariku, aku pasti dipertemukan kembali. Keikhlasanku terpancar karena aku yaqini Taqdi Allah SWT yang senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Memasrahkan segala urusannya kepada-Nya. Dan hakikat cinta sebenarnya hanyalah kepada Allah SWT. Kini Bersama alamku yang baru, di negri yang baru, tempat cita-citaku tercapai. Negri Timur Tengah. Yaman. Aku tutupkan lembaran hidupku bersama Nayla, yang suatu saat akan ku buka seandainya Allah SWT mengizinkanku untuk membukanya kembali.

PROFIL PENULIS
Assalamu 'alaikum. wr. wb.
Saya bernama Abdul Rahman Malik (21 th), sekarang sedang menjalani kuliah di Al Ahgaff University of Yemen. dilahirkan disebuah kabupaten di kawasan Pasundan pada hari rabu, 12 Februari 1991. Riwayat Pendidikan berawal dari SD Negeri 1 Leuwimunding - Majalengka, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Leuwimunding, lalu berhijrah ke dunia pesantren di PP. Al Hikmah 2, Bumiayu - Jawa Tengan, sambil sekolah di MAK Al Hikmah 2. dan kini Allah swt memberikan taufiq-Nya sehingga saya bisa menimba ilmu di Negeri Saba, Yaman.


KETEGARAN DALAM NAUNGAN-MU YA RABB



 Cerpen Miya_Senyumsetia

Getaran yang ada dalam hati membuat diri merasa tidak mampu lagi menitih kehidupan yang baru, rintik – rintik hujan yang sudah membasahi bumi seakan langit ikut merasakan kepedihan hidup ku, sebuah kenyataan yang telah menyeretku ke dalam situasi seperti ini dan aku hanya bisa meratapi hingga akhirnya kisah masa lalu ku yang ada dalam benak dan yang sudah di kubur dalam – dalam agar diri ini tidak masuk ke dalam penyakit dendam yang membara, namun sesuatu apapun itu bila kita berada dalam lamunan pasti lah kejadian – kejadian yang indah, duka maupun suka, dari hal yang kecil maupun yang besar, rasa tersakitipun akan menghantui siapapun itu.

Saat itu aku sedang duduk terdiam dalam kesendirian, penuh kebingungan dan kebimbangan. Andai saja bunuh diri itu adalah jalan terbaik mungkin aku sudah melakukan nya, tapi karena perbuatan itu adalah hal yang paling di murkai oleh Allah, ku tak sanggup melakukan nya karena sama halnya aku menjerumuskan diriku sendiri ke dalam jurang penyesalan di kemudian hari dan perbuatan itu akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah, akhirnya aku tersadar dan beranjak dalam lamunan ku untuk pergi mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat setelah itu aku berdo’a “ ya…. Allah berikanlah kelapangan hati dan ke sabaran kepada hamba dalam menghadapi segala macam cobaan mu ya Allah, hamba tau bahwa hamba adalah mahkluk mu yang lemah dan tak berdaya, di hadapan engkau pun hamba bukan apa - apa ya Allah… hamba menyeru akan hidup dan jalan hamba dalam lindungan tiada daya dan upaya bagaimana hamba melaksanakan semua tugas hamba di bumi ini ya allah, hamba mohon dengan kerendahan hati hamba bahwasan hamba selalu membutuhkan akan bimbingan mu ya Allah….. “ seru ku dalam do’a.
 
Selama ini aku hidup dengan seorang ibu tiri dan saudara – saudara tiri ku, kenyatan hidup yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya tapi inilah realitanya, ketika aku masih berusia 8 tahun dan di saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, pada saat itulah aku tidak pernah bertemu dengan ibu kandung ku sendiri karena ibu dan bapak ku sudah bercerai tanpa suatu permasalahan yang tidak jelas hingga sekarang akupun tidak mengetahui nya asal muasal perceraian itu, yang aku tau hanya kejadian yang mengingatku pada perbuatan bapak ku yng begitu kejam, dia menghajar ibu sampai luka – luka di bagian bibir nya karena tendangan sepatu but yang di pakai oleh bapak, saat itu memang tidak ada orang yang tau akan kejadian itu Karena bapak menyiruh ku untuk datang ke rumah paman , sebuah tugas yang harus aku laksanakan maka berangkatlah aku ke rumah paman ku bersama bibik . Tiba – tiba di tengah perjalanan aku mendengar teriakan seorang perempuan namun aku tidak mengenali suara itu, lalu aku bertanya pada bibik “ bi’ suara siapa itu ya ? kok seperti orang kesakitan sambil menangis ! “ namun bibik ku menjawab dia tidak tau juga itu suara siapa?. Tak terfikir lalu akan suara itu akhirnya aku melangkah menuju rumah paman dan ketika sampai di rumah beliau, akmi berdua tidak bertemu dengan beliau akhir nya kami pulang ke rumah. Tapi apa yang terjadi benar – benar tak di sangka, tiba di rumah aku sudah melihat ibu ku menangis dengan babak belur penuh luka di bagian wajah dan tubuh nya, melihat kejadian itu aku langsung memeluk ibu ku itu dan ikut menangis. Lalu ibu tetap memberi ku rasa semangat agar suatu saat aku tidak memiliki nasib yang buruk seperti ibu ku “ anak ku janganlah kamu memiliki nasib seperti ibu ini nak, bangkit kan semngat mu agar kamu tidak mudah di tindas dan di perlakukan semena – mena oleh kau laki – laki, cukup ibu saja yang merasakan tapi jangan kamu sayang karena ibu tidak akan merelakan siapapun yang menyakiti mu terutama dari bapak mu, bapakmu sudah tega menyakiti ibu nak “ ucapan ibu ku pahami meskipun aku tidak mengerti sepenuh nya. Setelah kejadian itu bapak mengajak ku untuk membeli sebuah perhiasan karena di saat itu aku memang tidak memilki perhiasan apapun yang melekat pada diri ku, akhirnya aku ikut dan kebetulan saat bapak datang mengajak ku di rumah tidak ada orang, nenek dan kakek pergi ke ladang, bibik sedang ada di rumah teman nya sedangkan ibu ku sendiri sedang ada di kota sampang beliau sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan ku, awalnya bapak kubilang kalau aku akan di pulangkan ke rumah nenek itualah janji bapak kepada ku. Tapi kenyatannya sampai sekarang aku belum di pulangkan oleh bapak malah aku suruh tinggal bersama di keluarganya , di rumah itulah awalnya aku di perlakukan baik oleh istri dan anak – anak nya bahkan oleh sanak saudara yang lain aku di perlakukan lembut oleh mereka.

Setelah berselang beberapa bulan aku tinggal bersama bapak, aku benar – benar kaget akan sikap istri bapak ku dan anak – anak nya, mereka mulai menyuruh ku melakukan pekerjaan berat yang selama aku tinggal bersama ibu ku, yang tidak pernah tersentuh akan pekerjaan yang kasar itu, namun mau apa lagi itu sudah menjadi tugas ku, mau tidak mau tetap aku kerjakan walau terkadang dalam fikiran pekerjaan itu memang bukan pekerjaan yang layak untuk ku, karena sama saja mereka mempekerjakan anak kecil. Perlakuan itu tidak pernah aku adukan pada bapak, setalah sekian tahun aku tetap menjadi anak pengangkut air. Dalam hati berseru “ ya allah sampai kapan hamba seperti ini “ dalam perjalanan membawa air di atas kepala aku menangis karena ingat pada ibu ku. 2 tahun ada di desa akhirnya bapak pindah ke kota bersama keluarga nya, aku pikir hal itu akan membuat ku lebih baik lagi karena bisa bertemu dengan ibu ku tapi hanya mimpi belaka justru berdampak buruk bagi ku dan hidup ku.
Karena rasa bakti ku pada mereka dan menganggap mereka sebagai keluarga ku sendiri aku melakukan pekerjaan lain nya, dengan mencari pekerjaan pada orang yang mau menampung ku untuk bisa di pekerjakan oleh mereka, namun ternyata Allah masih memberiku ke sabaran dan memberiku kelapangan dalam tekat mencari kerja,ketika itu aku ada di bangku sekolah dasar kelas 5 sampai kelas 6, tenaga ku terbagi pagi hari aku sekolah dan sepulang sekolah aku kerja di rumah seorang guru sebagai pekerja rumah tangga, pekerjaan it u terus aku tekunin sampai lulus sekolah dasar namun selama aku kerja uang penghasilan tidak tau aku gunakan pada siapa, saat itu aku memang tidak tau akan arti sebuah uang karena yang aku lakukan hanya sekedar membantu ibu tiri ku, sedangkan dari bapak ku sendiri tak pernah mau tau apa yang aku lakukan dan semenjak aku tinggal bersama dengan keluarga bapak, aku tidak pernah bicara lagi dengan beliau dan hubungan kami makin renggang, di antara kami seperti bermusuhan hal itu yang membuat hati ku saat sendiri bisa memikirkan sesuatu yamg tak bisa di lupakan sama seperti perlakuan bapak.

Ketika aku sakit tidak ada yang mau peduli akan diri ku, mereka membiarka ku tergeletak tak berdaya, dalam kesakitan aku hanya bisa menangis melihat sikap bapak dan keluarga nya acuh tak acuh pada ku.
“ ya…. Allah dosa apa yang sudah hamba lakukan pada bapak dan keluarga nya, mengapa mereka aku di perlakukan seperti ini, di saat mereka menyuruh aku berangkat , di saat mereka memarahi ku tanpa alasan yang jelaspun aku tetap diam dan tidak membantah, walaupun pernah juga pukulan aku rasakan. Salah hamba terlahir di dunia ini ya allah “ seruan ku dalam ratapan sedih.

Namun sekarang aku sudah duduk di bangku sekolah menengah atas dan aku bisa memilih kehidupan ku seperti apa? Belajar mencari jati diri ku seperti apa ?, terus belajar dan berusaha itulah tekat ku, tidak ada rasa ingin balas dendam pada keluarga ku sekarang, hati ini hanya ingin di sayang dan di perhatikan oleh mereka,sampai sekang masih belum aku rasakan tetapi tidak pernah aku lupa dalam setiap do’a ku untuk mereka semua agar di bukan hati mereka semua dan bisa menyayangi diri ini.

Sekarang aku bisa bertahan dengan semua rintangan hidup yang aku rasakan, walau sering hati ini terjatuh namun aku terus berusaha untuk bangkit dalam keterpurukan getir hidup yang sulit. Di usia yang remaja ini aku memiliki impian, suatu saat aku bisa mengubah nasib buruk ku menjadi lebih baik, aku memang sekarang sedang menuntut ilmu tapi ilmu itu ingin aku terapkan dalam rumah tangga dengan mendidik anak dan patuh akan suami, tak lain adalah ingin menjadi istri yang sholeh dan ibu yang baik untuk anak – anak ku nanti, hal itulah yang tertanam di hati ku, dan biarkan masa lalu yang sudah silam dapat terkubur dalam – dalam dan tidak menjadi turun temurun pada anak ku suatu saat nanti, impian seorang anak yang tak mendapatkan kasih sayang dari keluarga ini yaitu aku.

Saat tekat sudah bulat, aku mulai mencari dimana ibu kandung ku ? dalam usaha aku terus berdo’a agar di pertemukan dengan ibu yang melahirkan ku oleh allah, ternyata usaha ku selama ini tidak sia – sia, aku bertemu dengan ibu kandung ku di suatu acara pameran karya seni di kota. Ketika itu rasa rindu sudah membara dalam hati dan kaki ini terus melngkah untuk bertemu dengan beliau, namun setelah aku ada di depan beliau aku menatap wajah ibu dengan penuh rasa haru dan rindu lalu aku menyapa “ ibu ingatkah kau pada anak mu bu, ini aku bu rista anak mu bu “ setelah ku ucapkan kata itu langsung beliau merangkul dan memeluk ku seraya berkata “ anak ku rista kau kah ini nak, ibu merindukan mu nak selama ini ibu mencari mu kemana – mana tetapi ibu tidak juga menemukan mu, kenapa rista tinggalkan ibu dan nenek di desa ? “
lalu aku menjawab “ ibu aku tidak bermaksud untuk meninggalkan ibu dan keluarga kita di desa tetapi rista di ajak oleh bapak bu,untuk membeli perhiasan dan bapak berjanji akan mengantar rista pulang tapi sampai sekarng rista tidak di pulangkan pada ibu dan juga nenek, selama ini bapak sudah membiarkan diri ini tersakiti oleh istri dan anak – anak nya bu tapi rista tidak pernah membantah maupun menentang ucapan mereka bu,semua rista lakukan demi mereka tapi kasih sayang yang rista harapkan tidak pernah mereka berikan pada rista, saat rista sakit mereka membiarkan tak mau peduli apa yang terjadi pada rista, bapak kejam bu, bapak tega sama rista bu, rista mau ikut ibu saja dan tinggal bersama nenek di desa “ dengan isak tangis.
“ ya allah maaf kan hamba mu ini ya allah yang sudah menelantarkan titipan engkau dan membiarkan dia teraniaya oleh bapak nya sendiri, hukum lah hamba ya allah atas kelalain hamba ya allah, biarkan hamba yang menanggung derita anak hamba ya allah “ air hujan yang mencucuri air mata nya, hati sendiri merasa sedih mendengar seruan do’a dari sang ibu.

Karena pertemuan itu ahkirnya aku pergi dari rumah bapak ku dan tinggal bersama ibu kandung ku,lepas semua beban dan rasa tekanan dari keluarga itu. Namun sebelum aku pergi aku menulis sebuah surat untuk bapak dan ibu serta saudara – saudara ku
“ dear : keluarga ku

Pak, bu dan saudara – saudaraku maaf kan semua kesalahan ku selama aku bersama kalian, sekarang aku sudah bisa menentukan hidup yang baik demi masa depan ku pak, kalian tetap aku ingat dan semudah itu aku melupakan semua pengalaman yang kalian berikan untuk hidup ku, meskipun hati ini menangis atas semua perlakuan kalian pada ku namun aku tidak bisa membenci kalian sampai kapan pun, biarkan aku hidup dengan ibu kandung ku pak, karena bapak tidak menepati janji untuk mengantar ku pulang saat ini aku bisa pulang dengan sendiri, sekali lagi maaf kan rista anak mu ini pak, untuk ibu bukalah hati ibu untuk bisa menerima ku sebagai anak mu juga seperti saudara saudara ku yang lain, dan untuk saudara – saudara ku, rubah lah sikap kalian pada ku, hargai lah aku sebagai saudara kalian, rista hanya bisa berkata maaf kan rista pak. Suatu saat rista akan berkunjung ke rumah ini…..

Setelah menulis surat itu aku langsung pergi sambil menetes air mata, dan tiba di rumah ibu ku rasa haru dan bahagia menyelimuti hati ku,, karena keluarga ku yang di desa telah menunggu kedatangan ku, “ subhanallah mimpikah aku ini, bisa berkumpul kembali dengan ibu dan nenek, serta keluarga ku yang lain, terima kasih ya … allah atas rahmat yang telah kau berikan pada hamba selama ini dengan perlindunganmu, engkau memberi hamba kekuatan dan ke sabaran untuk hamba, hingga saat ini engkau member ku hidayah di pertemukan keluarga ku yang pernah hamba tinggal kan ya allah, kau lah maha agung dan penyayang bagi umat mu “ dengan tangis bahagia aku langsung memeluk nenek ku. 
 
Lulusan SMA menjadi kebanggan ku sendiri karena di saat pisah kenang sekolah ada ibu yang sangat aku sayang dan beliaulah yang pertama kali menerima raport ku selama aku sekolah Kebahagian itu terus berlangsung sampai tiba saat nya aku di lamar oleh seorang pemuda yang memiliki sifat, sikap, bahkan ketaatan nya pada agama islam yang menjadi sumber penerang umat muslim, karena aku ingin mengikuti sunnah nabi dan menciptakan impian dan cita – cita ku saat masih remaja maka aku menerima lamaran pria itu, meskipun sebelumnya kita tidak saling kenal tapi itu lah kehendak allah yang tidak pernah di pungkiri, akhirnya rencana pernikahan pun sudah di tentukan satu minggu sebelum pelaksanaan akad nikah aku dan ibu ku beserta calon suami ku berkunjung ke rumah bapak ku dengan maksud mengundang bapak , ibu dan saudara – saudara tiri ku hadir ke pernikahan ku. Setelah sampai di rumah bapak aku melihat rumah bapak kosong dan tatanan di rumah itu pun sangat kotor seperti rumah tak terawat, lalu aku bertanya pada mbo surmi yang merupakan tetangga bapak, untung nya mbo surmi masih mengingat ku saat aku menemui di rumah nya, saat aku menyapa mbo surmi dia langsung memeluk ku seraya berkata “ neng rista, kemana saja selama ini ? “
“ aku ada di rumah ibu ku mbo dan minggu depan aku akan melangsungkan pernikahan ku mbo, maka nya saya ke sini ingin sekali bertemu bapak agar kita semua bisa berkumpul saat hari ke bahagian ku, ohh… iya mbo kok di rumah bapak seperti gak ada orangnya dan tatanan rumah nya pun kotor seperti tak terawat, ? “ ucapku pad mbo surmi, namun mbo surmi diam malah dia masuk ke dalam rumah nya dan mengambil sebuah surat lalu di berikan surat itu pada ku sambil berkata mbo surmi “ neng ada titipan surat untuk neng dari bapak mu neng, surat ini di berikan sebelum beliau wafat, karena penyakit setrok yang tak kunjung sembuh – sembuh meskipun sudah berobat kemana – mana di tambah lagi penghianatan dari istri dan anak nya“

Aku kaget akan penuturan dari mbo’ surmi dengan rasa gemetar aku menerima surat dari bapak ku lalu membuka dan membacanya
“ rista anak ku, maaf kan bapak atas semua perbuatan bapak pada kamu nak mungkin rista membaca surat ini bapak sudah menghadap sang ilahi untuk mempertanggung jawabkan semua kesalahan bapak padamu nak, selama ini bapak sudah menelantar dan menyianyiakan kamu nak, bapak sadar akan perbuatan bapak hingga akhirnya allah menghukum bapak dengan memberikan cobaan berupa penyakit setrok yang tak dapat di obati lagi, ibu dan saudara – saudara mu yang lain sudah meninggalkan bapak karena bapak sudah tidak bisa apa – apa, maka dari itu sebelum bapak pergi menghadap sang ilahi bapak minta maaf, maaf kan bapak rista, maaf kan semua kesalahan bapak nak sampaikan salam dari bapak pada ibu mu yang pernah bapak sakiti, bapak sudah mendapat karma nya nak, sampaikan salam itu nak. Dari ayah mu yang kejam ini. Semoga hidup kamu bahagia nak, selamat tinggal “

Setelah aku membaca surat itu aku merasa terpukul karena di saat aku merasakan kebahagian dan mengharap bapak bisa berkumpul, semua tinggal harapan dan kenangan masa lalu. Air mata sudah menghujani pipi ku, begitu pula ibu ku.
“ ya… allah terimalah dia di sisi mu dan ampuni dosa – dosa nya “, seruan ku dalam tangis, aku mengajak mbo surmi untuk pergi ke ziarah dan di atas pusar makam bapak, aku ber kata “ pak rista sudah memaafkan bapak begitu pula ibu, istirahtlah yang tenang pak kita akan selalu mendo’akan bapak “

Usai dari itu, satu minggu kemudian tibalah waktu nya aku melaksanakan akad nikah bersama semi pria yang melamar ku, dalam kebahagian aku menangis mengingat akan bapak, dalam kebahagiaan nya dia tidak bisa hadir di tengah – tengah pernikahan ku. Namun semi yang sudah sah menjadi suamiku berkata “ rista istri ku, jangan lah kau basahi kebahagian pernikahan kita ini dengan air mata mu, aku mengerti akan perasaan mu tak ada seorang anak yang tega dan merasa bahagia bila tak di lengkapi oleh kedua orang tua, tak ada itu istri ku, sabar lah kamu dalam hidup ini, mari kita buka lembaran hidup baru dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmahh bukan itu impian mu istri ku “ aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan suami ku, dan di saat itu pula semi suami ku memberiku sebuah lantuanan syair yang tak pernah dia berikan pada siapapun
“ Dalam hati ku terukir nama mu
Dalam hati ku hanya diri mu
Takkan berubah takkan terganti,
Sampai hayat ku, mengakhiri ,
Di saat aku melihat wajah mu
Betapa indah cantik parasmu,
Ku hanya ingin setia kepada mu
Sepenuh hati sanubari ku,
Hanya untuk mu hanya dirimu
Yang aku puja wahai istri ku.
Syair yang di lantunkan dengan indah dari suami ku, membuat hati ini merasa kan kebahagiaan yang sudah lengkap, bagi ku dia adalah sosok malaikat yang selalu memberikan rasa damai dan tenang, begitu sabar dan ihklas dalam menghadapi tantangan hidup, di kala aku sedih dia menghiburku dengan lantunan syair – syair indah nya, sungguh mulia budi pekerti yang dia miliki sebagai kaum adam.
“ siang tlah pergi malampun hadir lagi
Ku coba tuk lelapkan kamu, jangan kau murung wahai istri cantik ku, senyummu nan indah selalu, di hati “


BAGAI POHON YANG DAUNNYA JATUH DAN TAK BERUBAH



Karya  Iyen Suryani
Sejak kecil, Riska hidup di keluarga yang sederhana. Kesederhanaan itu membuat dia selalu bersikap rendah hati. Tak bisa membayangkan gadis berusia sepuluh tahun ini sudah bersanding dengan masalah kehidupan yang amat berat. Tak sedikit para tetangga yang merasa iba padanya. Keadaan seperti itu yang membuat dia tetap semangat untuk hidup. Hidup memang suatu proses yang harus dijalani.


Bapaknya hanyalah seorang pedagang bakso tusuk yang kerjaannya berkeliling di sekitar kampung, atau terkadang menyandarkan sepedanya di depan gerbang sekolah dasar kampung setempat. Penghasilan yang didapat pun tak seberapa. Sedangkan ibunya yang baru dua tahun silam ini meninggal dunia karena penyakit asma, hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang sesekali mencari pekerjaan dengan menjadi buruh tani, atau mencari kayu bakar di pegunungan kampung setempat.
Hidup mengajarkan Riska untuk menjadi gadis yang tagar. Dulunya orang tua Riska adalah seorang guru ngaji, mereka terhitung orang yang biasa, mereka tak pernah lepas mengajarkan anak-anaknya pendidikan agama. Karena letak rumah Riska yang jauh dari mushola kampung, terlebih masjid besar, maka Riska tak pernah datang ke mushola atau masjid untuk belajar mengaji. Bapaknya selalu bilang, “Jangan takut nak, asal Riska tahu Bapak tidak akan membiarkan anak Bapak buta agama.”

Seiring dengan berputarnya roda kehidupan, keluarga sederhana ini pun mengalami tingkat perekonomian yang amat terpuruk. Pak Selamet, begitu biasa orang memanggil bapaknya Riska kini tak bisa berjualan lagi. Hasil jualannya selama ini tidak menghasilkan keuntungan, yang ada untuk membeli bahan dasar bakso tusuk tersebut mereka menghutang kesana kemari, hingga sekarang tak ada lagi yang mau meminjamkan uangnya pada keluarga Pak Selamet.
“Pak kok gak jualan lagi?” tanya Riska dengan polosnya.
“Kita tak mendapat keuntungan dari jualan bakso tusuk itu nak, mungkin Allah memilihkan jalan yang lain untuk keluarga kita mendapatkan rezeki.”
Gedis kelas 4 SD ini hanya bisa menatapi bapaknya yang pergi berlalu tanpa berkata-kata lagi sambil membenarkan kerudungnya yang kebesaran.

Musibah pun terus datang silih berganti. Kini kakaknya, Meita sakit parah. Setelah membawanya pada Pak Mantri (sebutan orang yang ahli dalam bidang kesehatan di kampung setempat), ternyata kakaknya disarankan untuk dibawa ke rumah sakit dengan tidak memberikan alasan yang jelas. Pak Mantri hanya menyebutkan kata-kata singkat, “mungkin ada gangguan pada ginjalnya”
Langsung saja setelah mengetahui hal tersebut, mereka mengayuh sepeda kumbangnya menuju rumah RT setempat. Mereka memohon untuk dibuatkan surat keterangan miskin agar dapat membawa anak pertamanya itu ke puskesmas, karena letak rumah sakit sangatlah jauh di kota besar sana.

Akhirnya sekolah Riska pun terganggu, karena dia harus menunggui kakaknya di puskesmas.
“Kakak harus sembuh ya, bapak sedang mencari uang untuk pengobatan kakak.”
Gadis kecil ini pun terus berada disamping kakaknya dengan tak henti-hentinya berdoa. Tak jarang gadis ini mengaji dan membacakan sholawat nabi untuk kakaknya. Orang-orang yang dirawat satu ruangan dengan kakaknya itu pun merasakan ketenangan hati dengan mendengarkan Riska mengaji, walau suaranya lirih dan lembut. Tapi Riska mengaji menggunakan hati, suaranya dalam sekali hingga sesekali air mata mengalir di pipinya yang imut itu.

Tiba-tiba seorang ibu-ibu menghampiri Riska.
“Nak kau bangus sekali mengajinya, belajar mengaji dimana?”
“Saya diajari oleh bapak saya Bu.”
“Kenapa tidak ikut lomba murrotal Al-Qur’an saja, kebetulan sekolah diniah di kampung ibu sedang mengadakan perlombaan.”

Riska pun berpikir keras tentang tawaran ibu-ibu tadi. Setelah ia tahu ternyata mengikuti lomba seperti itu membutuhkan biaya pendaftaran yang menurut gadis sekecil itu cukup besar. Hanya Rp. 20.000 saja memang, tapi ia tidak mungkin meminta pada bapaknya. Untuk biaya pengobatan kakanya saja bapaknya itu harus mencari pekerjaan dan pinjaman kesana kemari.
“Hadiahnya lumayan, untuk juara 1 sebesar Rp. 250.000 lumayan untuk bantu-bantu biaya pengobatan kakakmu.”

Kata-kata seseorang di puskesmas itu terus terngiang dalam benak Riska.
“Aku harus bisa mencari uang pendaftaran itu, harus!”
Dengan semangat dan tekad yang tinggi Riska berusaha mencari uang. Dia mencoba jualan gorengan bibi warung dekat rumah ke sekolah dan keliling kampung. Dia juga menjadi tukang cuci di kampung setempatnya hingga terkumpul uang sebanyak Rp. 15.000 sedang batas waktu pendaftarannya itu tinggal sehari lagi.

Dalam hening, Riska terus gelisah, dia terus memikirkan bagaimana cara menutupi kekurangan biaya pendafaran tersebut.
“Yaa Allah aku ingin mengikuti perlombaan itu, berilah aku Rp. 5000 lagi saja Yaa Allah, umurku terlalu kecil untuk mengerjakan pekerjaan berat. Semua orang mencibirku. Tapi aku tidak mau menjadi seorang pengemis, aku akan terus berjuang dengan kemampuanku. Aku mohon, beri aku jalan, jalan yang Engkau ridhoi Yaa Allah..”

Dalam hati Riska memanjatkan doa di sholat malamnya, disamping sang kakak yang tak sadarkan diri.
“Mamah...boleh aku minta uang Rp. 5000 mah?” Dia terus mencari cara sambil tiba-tiba teringat akan ibunya, sebagaimana polosnya anak berusia 10 tahun yang masih butuh sekali perhatian sang ibu.

Lama sekali bapaknya tak kunjung datang, kakaknya semakin parah karena tak mendapatkan perawatan intensif. Bahkan Riska mendapat cibiran dari perawat puskesmas.
“Mana bapakmu? Sudah berapa lama dia meninggalkanmu? Dia tidak peduli apa dengan kakakmu? Kakakmu ini sudah sakharotul maut tapi bapakmu tak juga menyelesaikan proses administrasinya, mana bisa kita melakukan perawatan tanpa biaya??”
“Bapak sedang mencari uang Bu”
“Halaaah jangan-jangan dia kabur lagi lepas tanggung jawab, sudah tak menganggap kalian sebagai anaknya lagi!”
“Astagfirullahal’adzim Bu, bapak saya tidak seperti itu.....”
Mendadak Riska menghentikan kata-katanya. Dia teringat selalu pesan ibunya, bahwa akan ada banyak orang yang membuat hati kita sesak dengan prasangka buruk, maka jangan biarkan kita terhanyut didalamnya, karena sesungguhnya diam adalah emas.

Akhirnya sosok yang ditungu-tunggu pun datang. Bapaknya pulang membawa hasil. Sang kakak pun kini mulai mendapatkan perawatan. Riska ragu ingin meminta uang pada bapaknya. Tapi lagi-lagi seorang bapak mampu membaca pikiran anaknya.
“Ada apa nak? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan pada bapak?”
“Emmm...ti..tidak kok pak.”
“Ayo bilang saja pada Bapak ada apa?”
“Emm...boleh Riska minta uang Rp. 5000 pak?”
“Buat apa?”
“Riska ingin ikut lomba murrotal Al-Qur’an pak, dan itu ada uang pendaftaraanya. Kalau Riska juara 1, hadiahnya lumayan Rp. 250.000 bisa untuk membantu pengobatan kakak pak.”

Bapaknya pun tercengang mendengar perkataan putri kecilnya itu. Dan akhirnya Riska mampu mengikuti lomba itu. Sebelum tampil di panggung dia berucap dengan lirih,
“Kakak, aku akan berusaha untuk menang, akan ku persembahkan semuanya untukmu, bertahanlah kak, Bismillah.....”
Belum selesai gadis itu melantunkan ayat-ayat Allah dengan indahnya. Sang bapak datang dengan mata berkaca-kaca. Tanpa sadar mata Riska tiba-tiba langsung terarah pada bapaknya. Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi sambil meneteskan air mata, sehingga suaranya agak sedikit parau.

Ketika sudah turun pangung, dia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi. Dia hanya diam menatap bapaknya yang tak berkata-kata, dia tak berani memulai pembicaraaan dengan bapaknya itu. Sampai tiba saatnya pengumuman juara. Tiba-tiba bapaknya mengeluarkan kata-kata..
“Riska, kakakmu...”
Perkataan itu terpotong sejenak karena Riska fokus mendengar pengumuman pemenang, ternyata sampai juara tiga pun nama Riska tak kunjung disebutkan.

Hingga bapaknya kembali melanjutkan kata-katanya,
“Kakakmu telah menyusul ibu nak..”

Rasa sedih, hancur, kecewa, bercampur jadi satu. Semua perjuangan yang telah dilakukan seakan tidak membuahkan hasil sama sekali, bagaikan pohon yang daunnya jatuh dan tak berbuah. Semua yang dari awal dipertaruhkan untuk sesuatu yang akan dipersembahkan dalam hal kebaikan, ternyata tak membuahkan hasil. Setiap keringat yang bercucuran, air mata yang mengalir tak tertahankan, usaha yang benar-benar menguras tenaga, doa yang terus dipanjatkan setiap saat, kita tak pernah tahu semua akan dibalas tepat waktu seperti apa yang kita inginkan. Tapi semua akan terjawab dan terbalas pada waktu yang tepat. Hidup ini memang kejam, bila kita berpikir segalanya akan sia-sia.
“Riska, putri bapak yang paling tangguh, jangan pernah menyalahkan siapa-siapa ya nak, semua sudah kehendak Allah. Riska harus sabar dan ikhlas. Maafkan Bapak yang belum mampu membahagiakan Riska. Tapi Bapak tahu, Riska anak yang cerdas, sholehah, dan tak akan pernah meninggalkan perintah Allah. Riska mampu berdiri setegar ini karena Allah, Dia tidak akan menguji seorang hamba diluar kemampuannya. Ingat, bukan kesabaran namanya jika masih mempunyai batas, dan bukan keikhlasan namanya jika masih merasakan sakit.”

Mereka pun berpelukan dalam tangis.
PROFIL PENULIS
Nama : Iyen Suryani
Alamat Asal : Ciamis
Umur : 20 tahun
Status : Mahasiswi
Alamat facebook : Iyen Suryani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar