1. ASAL USUL PANGKALAN BALAI
Kisah ini menceritakan ada suatu perkampungan yang diberi nama 'Talang Gelumbang'. Penduduk awalnya hanya dihuni tujuh buah rumah oleh beberapa keluarga yang dipimpin oleh tiga tokoh masyarakat yaitu pertama Puyang Beremban Besi seorang pahlawan, penduduk asli yang mempunyai kekuatan kebaal terhadap berbagai senjata tajam, kedua Bujang Merawan selaku pimpinan Pemerintahan, dan ketiga adalah Cahaya Bintang selaku pimpinan adat.
Di antara ketiga tokoh tersebut ada yang berasal dari Cirebon anak Mangkubumi dari kesultanan Cirebon karena kebijaksanaan dan wibawaa mereka, desa kecil itu terus berkembang, satu persatu rumah bertambah, karena banyak daya tarik dari desa ini, akhirnya desa ini menjadi perkampungan yang ramai.
Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bercocok tanam dan sebagai nelayan, kehidupan masyarakat desa ini selalu dalam suasana aman dan damai. Sekitar tahun 1600 datanglah seorang yang tak dikenal dengan kapal layar bernama 'Tuan Bangsali', beliau ternyata seorang ulama, beliau menyebarkan agama islam sehingga penduduk baik laki-laki maupun perempuan belajar agama islam.
Tuan Bangsali memilih Thalib Wali sebagai orang kepercayaannya atau orang yang pandai ilmu agama. Setelah kedatangan Tuan Bangsali desa ini mengalami perkembangan yang pesat, karena kampung ini kecil dan kurang memadai maka pemimpin desa ini memperluas kampung dan memindahkan penduduknya ke seberang yang diberi nama Napal. Di desa Napal ini mereka membangun perkampungan baru dan banyak rumah kokoh berdiri, kemudian penduduk membangun sebuah Balai Desa yang cukup besar dan sebuah Pangkalan tempat berlabuhnya perahu dagang dan perahu nelayan Pangkalan ini diberi nama Pangkalan Napal atau Pangkalan Bangsali.
Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bercocok tanam dan sebagai nelayan, kehidupan masyarakat desa ini selalu dalam suasana aman dan damai. Sekitar tahun 1600 datanglah seorang yang tak dikenal dengan kapal layar bernama 'Tuan Bangsali', beliau ternyata seorang ulama, beliau menyebarkan agama islam sehingga penduduk baik laki-laki maupun perempuan belajar agama islam.
Tuan Bangsali memilih Thalib Wali sebagai orang kepercayaannya atau orang yang pandai ilmu agama. Setelah kedatangan Tuan Bangsali desa ini mengalami perkembangan yang pesat, karena kampung ini kecil dan kurang memadai maka pemimpin desa ini memperluas kampung dan memindahkan penduduknya ke seberang yang diberi nama Napal. Di desa Napal ini mereka membangun perkampungan baru dan banyak rumah kokoh berdiri, kemudian penduduk membangun sebuah Balai Desa yang cukup besar dan sebuah Pangkalan tempat berlabuhnya perahu dagang dan perahu nelayan Pangkalan ini diberi nama Pangkalan Napal atau Pangkalan Bangsali.
Beberapa tahun kemudian Puyang Beremban Besi wafat dan berwasiat agar dimakamkan di hilir dusun (kira-kira dua kilometer dari Boom Berlian) teernyata di tempat makam beliau ditumbuhi nipah kuning. Setelah wafatnya Puyang Beremban Besi kemudian Bujang Merawan dan Cahaya Bintang pun mengundurkan diri karena sudah tua dan sering sakit-sakitan.
Akhirnya kepemimpinan beralih ke tangan Thalib Wali. Kemudian Thalib Wali menunjuk dua orang yaitu Puyang Rantau Pendodo sebagai kepala pemerintahan dan Muning Cana sebagai orang yang gagah berani.
Thalib Wali ini bernama Munai maka orang-orang desa ini memanggil beliau dengan sebutan 'Muning Munai'. Karena perkembangan desa dan keadaan pemerintahan yang kurang memadai, maka Thalib Wali mengambil kebijaksanaan bersama musyawarah rakyat setempat untuk memilih wakil-wakilnya, mereka yang terpilih adalah Ngunang sebagai Rio (kerio) Desa inni untuk pertama kalinya. Kemudian Thalib Wali ditetapkan menjadi khotib yang mengemban tugas agama sebagai pencatat nikah, tolak, dan rujuk, mengurus kelahirran dan kematian serta mengurus persedekahan rakyat.
Thalib Wali ini bernama Munai maka orang-orang desa ini memanggil beliau dengan sebutan 'Muning Munai'. Karena perkembangan desa dan keadaan pemerintahan yang kurang memadai, maka Thalib Wali mengambil kebijaksanaan bersama musyawarah rakyat setempat untuk memilih wakil-wakilnya, mereka yang terpilih adalah Ngunang sebagai Rio (kerio) Desa inni untuk pertama kalinya. Kemudian Thalib Wali ditetapkan menjadi khotib yang mengemban tugas agama sebagai pencatat nikah, tolak, dan rujuk, mengurus kelahirran dan kematian serta mengurus persedekahan rakyat.
Beberapa tahun kemudian Tuan Bangsali menilai adda beberapa orang yang pandai ilmu agama islam mereka adalah Thalib Wali dan Dul. Sedangkan Dul berasal dari Talang Majapani (Lubuk Rengas) dan kedua orang ini diajak pergi haji ke tanah suci Mekkah dengan menggunakan perahu layar. Setahun kemudian mereka yang pergi haji tersebut kembali ke desa ini, yaitu Serumpun Pohon Paojenggih dan Serumpun Pohon Beringin Nyusang.
Dengan ketentuan harus ditanam di dusun, pohon Poejenggih ditanam di sebelah kiri naik dan Pohon Beringin Nyusang ditanam di sebelah kanan naik, sedangkan Dul membawa serumpun Maje, dari tahun ke tahun dusun ini terus mengalami kemajuan dan masih tetap bernama 'Talang Gelumbang' dan pangkalannya masih tetap bernama Pangkalan Bangsali.
Setelah 40 tahun, wafatlah Kerio Ngunang, kerena perkembangan dusun sangat pesat maka dipilih seorang pasira (Depati) oleh Susuhunan Raja-raja Palembang, yang kedudukan di dusun Limau. Menurut ceritanya, Dusun Limau ini dibuat oleh anak dalam Muara Bengkulu. Rio ayung seorang anak dari Mangku Bumi Kesultanan Majapahit padda waktu Majapahit jatuh kekuasaannya, maka kelima anak dari Mangku Bumi melarikan diri ke Sumatera yaitu yang tertua ke daerah Sung Sang bernama Ratu Senuhun, yang kedua di daerah Limau bernama Rio Bayung, yang ketiga di daerah Betung bernama Rima Demam, dan dua orang wanita di daerh Abad Penungkal (Air Hitam).
Setelah 40 tahun, wafatlah Kerio Ngunang, kerena perkembangan dusun sangat pesat maka dipilih seorang pasira (Depati) oleh Susuhunan Raja-raja Palembang, yang kedudukan di dusun Limau. Menurut ceritanya, Dusun Limau ini dibuat oleh anak dalam Muara Bengkulu. Rio ayung seorang anak dari Mangku Bumi Kesultanan Majapahit padda waktu Majapahit jatuh kekuasaannya, maka kelima anak dari Mangku Bumi melarikan diri ke Sumatera yaitu yang tertua ke daerah Sung Sang bernama Ratu Senuhun, yang kedua di daerah Limau bernama Rio Bayung, yang ketiga di daerah Betung bernama Rima Demam, dan dua orang wanita di daerh Abad Penungkal (Air Hitam).
Ratu Senuhun pada waktu berlayar perahunya tersangsang (tersangkut) dan tidak bias turun lagi, maka daerah tersebut dinamakan Sung Sang, tetapi sebenarnya adalah Sang-Sang, sedangkan Depati Bang Seman, anaknya yang menjabat sebagai depati, namun istrinya meninggal, maka Depati Buta, karena matanya buta sebelah, tetapi kewibawaannya tinggi dan pergaulannya sangatlah luas, maka orang-orang hormat padanya. Setelah tujuh tahun beliau memegang tampuk pemerintahan, kemudian beliau sakit dan wafat.
Setiap dusun yang ada Rio (kepala desaa) harus mempunyai seorang khotib, yang bertugas mencatat nikah, tolak, rujuk, kematian, kelahiran, dan persedekahan rakyat. Perhubungan laut di Dusun Limau sulit untuk dijangkau maka diambil suatu kebijaksanaan bahwa pemerintahan Stap Pasirah dipindahkan ke Dusun Galang Tinggi. Dusun Galang Tinggi konon ceritanya dibuat oleh si Pahit Lidah, setelah di dusun Galang Tinggi diadakan musyawarah dan hasil musyawarah itu terpilihlah Depati Jebah sebagai depati pertama di dusun Galang Tinggi, lima tahun kemudian Jebah wafat dan digantikan oleh depati Renyab.
Konon kabar di suatu desa yang bernama dusun Galang Tinggi, dusun ini dibuat oleh seorang yang sangat sakti mandraguna karena apa yang diucapkannya akan menjadi misalnya, seekor gajah yang sedang menyeberang laut si Pahit Lidah berucap menjadi batu maka gajah itupun akan berubah menjadi batu dan banyak lagi kejadian-kejadian yang lain. Oleh karena itu, dia dijuluki si Pahit Lidah dan bukti-bukti peristiwa itu masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Di dusun Galing Tinggi ini kemudian ada pertarungan untuk memilih depati harus dengan keputusan musyawarah bersama, maka terpilihnya seorang yang bernama mentadi. Mentadi adalah saudara kandung ibu Depati Berdin yang bungsu Thalib Wali bernama Mentadi dipilih menjadi depati.
Setelah lebih kurang empat tahun Mentadi menjadi depati di Tanjung Menang terjadi kemarau panjang selama Sembilan bulan. Pada waktu itu kayu bergesekan maka keluarlah api, pada saat itu pula Mentadi sedang membuat sebuah ladang ketika ia membakar ladangnya untuk dibersihkan ternyata api itupun menyebar luas lalu membakar hutan-hutan dan kampong-kampung kecil sekitarnya ada dua rumah yang di dalamnya ada orang tua yang sedang sakit dan anak berumur dua tahun ikut terbakar dan meninggal dunia.
Karena peristiwa itu maka Depati Mentadi dijatuhi hukuman oleh hakim pada waktu itu, dia dihukum selama tiga tahun penjara dan diberhentikan sebagai depati. Penjara (obak) itu dinamakan Macan Lindung, akan tetapi Mentadi mempunyai sahabat karib yang bernama Marem Bubok dan Jamaer yang nama aslinya Tamsi.
Kedua sahabat Mentadi mengharap pengadilan akan menemani Mentadi selama dalam penjara, pengadilan pun memperbolehkan, akhirnya hukuman Mentadi diputuskan hanya satu tahun berkat bantuan sahabatnya itu. Setelaah Mentadi berhenti dari jabatannya sebagai depati, maka dari hasil musyawarah terpilihlah pak Betiah sebagai depati dan beliau digelari sebagai Depati Bungkuk, saying beliau ini buta huruf dan hanya bisa menjabat depati selama tiga tahun.
Semasa pemerintahan Depati Bungkuk Palembang telah jatuh kepada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Depati Bungkuk berhenti hasil musyawarah terpilih kembali Mentadi sebagai Depati untuk jabatan selama dua puluh tahun. Pada masa kepemimpinan Depati Mentadi pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda dating ke dusun Tanjung Menang dan menanyakan mengapa nama dusun ini Tanjung Menang dan nama Pangkalannya adalah Pangkalan Bangsali, Depati Mentadi menerangkan bahwa dinamakan Tanjung Menang karena dusun ini telah berhasil memenangkan peperangan melawan Lanun (bajak laut) sedangkan Pangkalan Bangsali karena dibuat oleh Tuan Bangsali sendiri.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mendengar alasan yang dikemukan oleh Depati Mentadi, maka mereka mengadakan musyawarah untuk mengubah nama dusun Tanjung Menang menjadi Pangkalan Bali oleh karena dusun Tanjung Menang mempunyai Balai maka namanya pun diubah menjadi Pangkalan Balai. Pangkalan Balai adalah pelabuhan Balai tempat pertemuan oleh karena itu, Pangkalan Balai mempunyai arti tempat berlabuh yang digunakan untuk pertemuan-pertemuan.
Itulah asal usul nama kota Pangkalan Balai yang terletak di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Banyuasin sejak 2002.
Lama-kelamaan penduduk Ngelebung bertambah banyak dan berkembanglah menjadi sebuah kampung yang akhirnya menjadi sebuah dusun bernama Lebung. Dusun Lebung sekarang lebih dikenal dengan nama Desa Lebung. Karena kesaktian ketib membuat kawah menjadi perahu sebagai kendaraan, ia kemudian dikenal dengan sebutan “Puyang Perahu Kawah
Pada zaman dahulu, di salah satu desa hiduplah seorang anak perempuan dan ibunya. Anak perempuannya bernama Siti Gelembung. Nasib Gelembung sangat malang. Setiap hari pagi-pagi sekali Gelembungan ditinggalkan Ibunya ke kebun dan menjelang malam Ibunya baru pulang ke rumah. Setiap sebelum pergi Ibunya selalu berpesan kepada Gelembungan agar tidak pergi kemana-mana apalagi pergi jauh dari rumah. Gelembung anak yang patuh. Dia selalu ingat pesan Ibunya, maka dia tidak pernah keluar rumah. Akibatnya, dia tidak mempunyai seorangpun teman. Sehari- hari ia hanya di rumah sendirian.
Setiap hari menjelang subuh dia selalu bangun lebih dahulu. Disiapkannya semua keperluan Ibunya. Setelah semuanya siap, ia membangunkan Ibunya.
“ Bu, hari ini di kebun panen tebu, ya?” tanya Gelembung pada suatu pagi setelah ibunya bangun. “Iya, Nak.”
“ Bu, aku ingin sekali makan tebu. Pulang nanti bawakan aku tebu ya!” “Iya kalau ibu ingat.”
Pagi itu seperti biasa pergilah ibunya ke kebun. Ternyata, Ibunya berpacaran di kebun. Pacar Ibunya bernama Nang Cik. Sambil memanen tebu mereka berpacaran. Semua hasil panen tebu yang bagus-bagus di berikan ibunya kepada Nang Cik. Sementara, tebu yang busuk dibawanya pulang. Setelah sore, Ibunya pun pulang.
“Hore, Ibu pulang. Pasti Ibu membawa tebu pesananku. Iya kan Bu?”
“Ya, Nak,” kata Ibunya sambil memberikan tebu yang dibawanya.
“Bu, kok tebunya busuk semua?” , “Oh,sepertinya Ibu salah ambil.”
Hati gelembung menjadi sangat sedih. Apa yang dinantikannya seharian tidak diperolehnya. Keesokan harinya dia seperti biasa bangun pagi dan menyiapkan segala keperluan Ibunya. Setelah Ibunya bangun, Ia kembali menyampaikan keinginannya.
“Bu, hari ini aku ikut ke kebun ya?”
“tidak usah Nak, Di sana banyak pekerjaan, nanti kamu lelah.”
“Tidak apa-apa Bu, aku ikut ya Bu?” Gelembung kembali memohon kepada Ibunya.
“Tidak usah, kamu di rumah saja!”
“Ya sudah kalu begitu, tapi pulang nanti jangan lupa bawakan aku tebu, ya Bu!”
“Ya,” jawab Ibunya sambil meninggalkan Gelembung.
Seperti biasa, Ibunya berpacaran di kebun. Setelah sore Ia pulang dengan membawa tebu pesanan anaknya.
“Ini tebu pesananmu!”
Gelembung bergegas mengambil tebu yang dibawakan Ibunya. “Bu, kok tebu busuk lagi yang dibawa? Mana tebu yang bagusnya Bu?”
Ibunya langsung meninggalkan Gelembung tanpa menghiraukan pertanyaan Gelembung. Pedih hati Gelembung melihat sikap Ibunya. Ia pun bertembang
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Nyanyian Gelembung terdengar sangat merdu. Beberapa hari kemudian, Ia terus meminta dibawakan tebu, tetapi selalu tebu busuk yang dibawakan oleh Ibunya. Setiap Ibunya membawakan tebu busuk, Ia selalu bertembang dan berdoa agar Ia ditumbuhkan sayap.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Suatu malam ia bermimpi bertemu ayahnya.
“Nak, kalau kau ingin tumbuh sayap dan berubah menjadi burung. Banyak-banyaklah bertembang. Jangan berhenti sebelum kau berubah menjadi burung,” pesan ayahnya.
Gelembung pun terbangun. Ia tidak sabar menanti pagi hari. Pagi itu, ia pun langsung bertembang, merdu sekali tembang yang ia nyanyikan.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Beberapa kali ia bertembang, tumbuhlah sayap ditangannya. Ia pun kembali bertembang.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Setelah berkali-kali bertembang, Gelembung berubah menjadi seekor burung. Ketika Ibunya melihat gelembung, ia sangat terkejut melihat anaknya telah berubah menjadi burung. Dikejarnya anaknya. Gelembung terbang ke suatu ranting pohon yang kecil. Ditebanglah pohon itu oleh Ibunya agar anaknya turun. Gelembung pun pergi ke pohon yang lebih tinggi.
“Nak turun Nak, nanti Ibu bawakan tebu yang bagus-bagus untukmu. Turunlah Nak, turun,” jerit Ibunya sambil menangis.
Gelembung semakin tinggi terbang meninggalkan Ibunya. Ibunya hanya dapat menyesali perbuatan yang ia lakukan pada anaknya. Lalu, Ibunya pun bertembang
“Tebu sebetang aku saying, Anak sekok aku tak sayang , Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
burung ini dikenal dengan sebutan Burung Kuwaw karena setiap pagi mengeluarkan bunyi “Kuwaw, kuwaw.”
“ Bu, hari ini di kebun panen tebu, ya?” tanya Gelembung pada suatu pagi setelah ibunya bangun. “Iya, Nak.”
“ Bu, aku ingin sekali makan tebu. Pulang nanti bawakan aku tebu ya!” “Iya kalau ibu ingat.”
Pagi itu seperti biasa pergilah ibunya ke kebun. Ternyata, Ibunya berpacaran di kebun. Pacar Ibunya bernama Nang Cik. Sambil memanen tebu mereka berpacaran. Semua hasil panen tebu yang bagus-bagus di berikan ibunya kepada Nang Cik. Sementara, tebu yang busuk dibawanya pulang. Setelah sore, Ibunya pun pulang.
“Hore, Ibu pulang. Pasti Ibu membawa tebu pesananku. Iya kan Bu?”
“Ya, Nak,” kata Ibunya sambil memberikan tebu yang dibawanya.
“Bu, kok tebunya busuk semua?” , “Oh,sepertinya Ibu salah ambil.”
Hati gelembung menjadi sangat sedih. Apa yang dinantikannya seharian tidak diperolehnya. Keesokan harinya dia seperti biasa bangun pagi dan menyiapkan segala keperluan Ibunya. Setelah Ibunya bangun, Ia kembali menyampaikan keinginannya.
“Bu, hari ini aku ikut ke kebun ya?”
“tidak usah Nak, Di sana banyak pekerjaan, nanti kamu lelah.”
“Tidak apa-apa Bu, aku ikut ya Bu?” Gelembung kembali memohon kepada Ibunya.
“Tidak usah, kamu di rumah saja!”
“Ya sudah kalu begitu, tapi pulang nanti jangan lupa bawakan aku tebu, ya Bu!”
“Ya,” jawab Ibunya sambil meninggalkan Gelembung.
Seperti biasa, Ibunya berpacaran di kebun. Setelah sore Ia pulang dengan membawa tebu pesanan anaknya.
“Ini tebu pesananmu!”
Gelembung bergegas mengambil tebu yang dibawakan Ibunya. “Bu, kok tebu busuk lagi yang dibawa? Mana tebu yang bagusnya Bu?”
Ibunya langsung meninggalkan Gelembung tanpa menghiraukan pertanyaan Gelembung. Pedih hati Gelembung melihat sikap Ibunya. Ia pun bertembang
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Nyanyian Gelembung terdengar sangat merdu. Beberapa hari kemudian, Ia terus meminta dibawakan tebu, tetapi selalu tebu busuk yang dibawakan oleh Ibunya. Setiap Ibunya membawakan tebu busuk, Ia selalu bertembang dan berdoa agar Ia ditumbuhkan sayap.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Suatu malam ia bermimpi bertemu ayahnya.
“Nak, kalau kau ingin tumbuh sayap dan berubah menjadi burung. Banyak-banyaklah bertembang. Jangan berhenti sebelum kau berubah menjadi burung,” pesan ayahnya.
Gelembung pun terbangun. Ia tidak sabar menanti pagi hari. Pagi itu, ia pun langsung bertembang, merdu sekali tembang yang ia nyanyikan.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Beberapa kali ia bertembang, tumbuhlah sayap ditangannya. Ia pun kembali bertembang.
“Tebu sebetang umak sayang
Anak sekok Umak tak sayang
Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
Setelah berkali-kali bertembang, Gelembung berubah menjadi seekor burung. Ketika Ibunya melihat gelembung, ia sangat terkejut melihat anaknya telah berubah menjadi burung. Dikejarnya anaknya. Gelembung terbang ke suatu ranting pohon yang kecil. Ditebanglah pohon itu oleh Ibunya agar anaknya turun. Gelembung pun pergi ke pohon yang lebih tinggi.
“Nak turun Nak, nanti Ibu bawakan tebu yang bagus-bagus untukmu. Turunlah Nak, turun,” jerit Ibunya sambil menangis.
Gelembung semakin tinggi terbang meninggalkan Ibunya. Ibunya hanya dapat menyesali perbuatan yang ia lakukan pada anaknya. Lalu, Ibunya pun bertembang
“Tebu sebetang aku saying, Anak sekok aku tak sayang , Anak sekok jedi burong
Burong kuwaw di pajer ari”
burung ini dikenal dengan sebutan Burung Kuwaw karena setiap pagi mengeluarkan bunyi “Kuwaw, kuwaw.”
3.ASAL USUL TANJUNG BERINGIN
Pada zaman dahulu penduduk masih hidup pindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah yang lain. Akhirnya mereka menetap di suatu tempat yang kelak daerah tersebut diberi nama desa Tanjung Beringin. Desa Tanjung Beringin terdiri atas beberapa wilayah yaitu Pulau Simpang Pelantar, Pulau Jemewe, Pulau Belatek, Pangkalan Kijang, Matang Mecang Air Rempah, Sake Tige, Bundud Satu, Bundud Dua, Pulau Enau, Pulau Pak Meben, dan Gaung Beringin.
Pada Tahun 1909, para penduduk dari berbagai wilayah yang ada di desa tanjung beringin bersatu membentuk sebuah kampung yang dinamakan Rengan Nangka yang dipimpin oleh seorang Karie yaitu Karim bin Jaiman serta seorang depati bernama Seman. Beberapa tahun kemudian keriernya diganti oleh Hamid dan Depatinya Mamad. Pada masa kepemimpinan Kerie Muhammad yahya dan tepatnya Aziz dan Nurhasan, banyak kejadian yang ditemukan oleh penduduk salah satu. Temuan tersebut adanya sebuah rumah bersake tige yang letaknya tidak jauh dari Pulau Air Rempah dan Pulau Sake Tige. Kemudian Kerie tersebut mengumpulkan penduduk desa dan bertanya. “Wahai penduduk siapakah yang telah membuat rumah bersake tige ini, karena rumah itu berbeda dengan rumah penduduk yang lain, serta rumah tersebut dari kayu besar dan diikat menggunakan rotan tanpa dibelah”
Salah satu penduduk menjawab. “Pemilik rumah bersake tige itu adalah orang Kubu yang bertelapak lebar, mereka hidup berpindah-pindah dan melakukan perjalanan dari Pulau Ipuh menuju ke Pulau Sake Tige, kemudian menyusuri Sungai Air Palal yang terletak di antara jalan Pangkalan Balai menuju pengumbuk, selain itu juga di kampung Rengan Nangke terdapat tiga pulau dan tiga sungai yang melingkari Rengan Nangke, diantaranya Pulau Simpang Pelatar, Pulau Sake Tige, Pulau Gaung Beringin. Sejak saat itulah, kampung Rengan Nangke berubah nama menjadi Kampung Sake Tige. Kerie Muhammad Yahya kemudian digantikan oleh Kerie Bujang Ayu. Pada saat kepemimpinan Kerie Bujang Ayu tidak ada lagi depati tetap, digantikan oleh seorang Pesiranya Sabidi Majid. Kemudian Kerie Bujang Ayu mengusulkan agar nama kampung Sake Tige diubah namanya menjadi dusun Tanjung Beringin. Hal ini dikarenakan di daerah tersebut terdapat telaga atau gaung yang disampingnya ada pohon beringin dan kita-kita 200 meter terdapat pula pohan Tanjung yang apabila berbunga harumnya semerbak mengharumi Dusun Tanjung Beringin, pada awalnya dusun tersebut namanya Gaung Beringin bukan Tanjung Beringin tetapi dalam suatu musyawarah dusun mufakat diberi nama Dusun Tanjung Beringin.
Kira-kira lebih kurang satu tahun dibawah pimpinan Kerie Hasim bin Duliman muncullah peraturan baru yang mengusulkan bahwa pemilihan pimpinan atau kepala desa harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilihan pun berlangsung dan dimenangkan oleh Arifin bin Hasim pada tahun 1982, maka Arifin bin Hasim mengubah nama dusun menjadi desa yaitu Desa Tanjung Beringin. Sampai pemilihan kepala desa berikutnya yang dipimpin oleh Mesir bin M. Zaini dibawah pemerintahan Syarkowi, MH nama desa tersebut tidak mengalami perubahan tetap Desa Tanjung Beringin yang terletak di Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Pangkalan Balai – Sumatera Selatan
4. ASAL MULA DESA TANJUNG AGUNG
ALKISAH pada zaman dahulu kala terdapat sebuah desa yang sangat sepi karen tidak berpenghuni. Semua wilayahnya berupa hutan. Panjang wilayahnya kurang lebih empat kilometer. Desa tersebut berada di perbatasan Pangkalan Panji yang di dalam karena desa ini menyambung dan dibatasi oleh Sungai Kertak, anak dari Sungai Musi. Cukup lama desa tersebut baru perpenghuni. Itu pun masih sangat sedikit. Karena penduduknya masih sangat sedikit, tentu saja desanya masih sangat sepi.
Pada saat itu hiduplah seorang pemuda bernama Agung. Ia sangat suka bermain di sekitar muara Sungai Kertak. Ia selalu sendirian saat bermain karena ia memang tidak punya teman. Selain bermain, ia juga memancing hampir setiap hari di sana.
Suatu hari, seperti biasa, Agung bermain dan memancing di muara Sungai Kertak, Hari itu ia berhasil mendapatkan ikan yang sangat banyak. Karena mendapatkan ikan yang banyak, ia semakin asyik memancing. Setelah lama memancing, tiba-tiba pancingannya tersangkut di kumpai (rumput). Karena kejadian itu, ia menghentikan kegiatan memancingnya dan memutuskan pulang ke rumahnya.
Dalam perjalanan pulang, di tengah hutan yang sepi ia dihadang oleh dua orang pemuda.“Hei pemuda, mau ke mana, hah!?” tanya salah seorang dari pemuda yang menghadangnya..
“Saya mau pulang,” jawab Agung.
“Heh, tidak bisa. Kamu pikir kamu siapa?”
“Permisi, maaf saya mau pulang.”
“Tidak semudah itu. Apa yang kau bawa itu?”
“Ini ikan hasil pancingan saya.”
“Bagus, kalau begitu cepat kau serahkan ikanmu. Baru kau poleh pulang.”
“Maaf, saya seharian memancing untuk mendapatkan ikan ini,” jawab Agung mencoba mempertahankan miliknya.
ALKISAH pada zaman dahulu kala terdapat sebuah desa yang sangat sepi karen tidak berpenghuni. Semua wilayahnya berupa hutan. Panjang wilayahnya kurang lebih empat kilometer. Desa tersebut berada di perbatasan Pangkalan Panji yang di dalam karena desa ini menyambung dan dibatasi oleh Sungai Kertak, anak dari Sungai Musi. Cukup lama desa tersebut baru perpenghuni. Itu pun masih sangat sedikit. Karena penduduknya masih sangat sedikit, tentu saja desanya masih sangat sepi.
Pada saat itu hiduplah seorang pemuda bernama Agung. Ia sangat suka bermain di sekitar muara Sungai Kertak. Ia selalu sendirian saat bermain karena ia memang tidak punya teman. Selain bermain, ia juga memancing hampir setiap hari di sana.
Suatu hari, seperti biasa, Agung bermain dan memancing di muara Sungai Kertak, Hari itu ia berhasil mendapatkan ikan yang sangat banyak. Karena mendapatkan ikan yang banyak, ia semakin asyik memancing. Setelah lama memancing, tiba-tiba pancingannya tersangkut di kumpai (rumput). Karena kejadian itu, ia menghentikan kegiatan memancingnya dan memutuskan pulang ke rumahnya.
Dalam perjalanan pulang, di tengah hutan yang sepi ia dihadang oleh dua orang pemuda.“Hei pemuda, mau ke mana, hah!?” tanya salah seorang dari pemuda yang menghadangnya..
“Saya mau pulang,” jawab Agung.
“Heh, tidak bisa. Kamu pikir kamu siapa?”
“Permisi, maaf saya mau pulang.”
“Tidak semudah itu. Apa yang kau bawa itu?”
“Ini ikan hasil pancingan saya.”
“Bagus, kalau begitu cepat kau serahkan ikanmu. Baru kau poleh pulang.”
“Maaf, saya seharian memancing untuk mendapatkan ikan ini,” jawab Agung mencoba mempertahankan miliknya.
“Baik kalau itu maumu,” jawab kedua pemuda itu. Kedua pemuda itu pun langsung merampas secara paksa ikan milik Agung yang sudah dengan susah payah dan seharian dipancingnya.
“Sekarang pulanglah!” teriak salah satu dari pemuda itu.
Agung tidak berani melawan. Ia ketakutan dan ia pun pulang sambil menangis.
Keesokan harinya, Agung kembali ke Sungai Kertak. Setelah sampai, ia langsung memasang pancing dan mulai memancing. Hari ini ia berhasil memancing, Ia mendapatkan ikan yang sangat banyak. Ia kembali memasang umpan dan kembali melemparkan pancingnya. Umpannya selalu disambar ikan. Pada saat ia kembali melemparkan pancingnya, tiba-tiba pancingnya tersangkut. Ia pun langsung mengambil pancingannya yang tersangkut. Setelah itu, entah dari mana datangnya, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik berambut panjang yang sedang mandi di muara.
“Agung, ke mari,” teriak si gadis itu.
Mendengar seorang wanita yang sangat cantik memanggil namanya, tentu saja Agung sangat senang. Segera ia mendekati si gadis.”
“Kita main-main dan mandi di sisni, yuk,” ajak si gadis.
Karena senangnya, Agung menurut saja ajakan si gadis dan hatinya tidak mungkin menolak. Tidak lama setelah itu, Agung tenggelam ditarik hantu air. Ternyata, gadis cantik yang mengajak Agung bermain tadi adalah hantu air.
Sementara itu, Ibu Agung yang menunggu kepulangan anaknya menjadi sangat cemas karena sampai sore dan hampir malam, anaknya belum pulang juga. Padahal, selama ini tidak pernah anaknya pulang sesore ini.
Ibu Agung tidak tinggal diam. Ia pun meminta bantuan seorang dukun untuk mencari anaknya. Semalaman Agung dicari, tetapi tidak berhasil. Pagi harinya Agung baru berhasil ditemukan. Agung ditemukan berada di dalam kumpai yang tebal. Dukun yang membantu memncari Agung langsung mengangkat Agung ke darat. Ternyata, Agung tidak bernyawa lagi. Ibu Agung berteriak histeris mengetahui anaknya tidak bernyawa lagi. Warga di sana pun turut merasakan kesedihan yang dialami ibu Agung. Warga di desa itu pun akhirnya sepakat memberi nama desa itu dengan nama Talang Sabrang (Tanjung Agung).
Saat ini Desa Tanjung Agung sudah cukup maju, sudah ada rumah-rumah walaupun jumlahnya tidak begitu banyak hingga sekarang. Kini Desa Tanjung Agung lebih dikenal dengan nama Desa Panji Sabrang.
“Baik Tuanku, hamba berangkat.”
Berangkatlah hulubalang raja untuk mencari pemuda bernama Panji. Setelah lama berjalan, akhirnya hulubalang raja berhasil menemukan Panji dan membawanya ke hadapan raja. “Duli Tuanku, hamba Panji datang menghadap” “Benar kau pemuda yang telah berani melawan setiap terjadi perampokan?” Tanya sang raja.
“Benar Tuanku,” Jawab Panji
“Aku telah mendengar keberanianmu dan kesaktianmu. Untuk itu, sekarang engkau kuangkat menjadi panglima perang kerajaan.” “Hamba dengan senang hati menerima tugas yang Tuan berikan pada hamba.”
''Aku juga akan memberikan puteriku yang cantik ini sebagai istrimu”.
“Terima kasih, Tuan,” jawab Panji terbata-bata karena tidak menyangka raja memberinya sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah terbesit dalam hatinya.
Agung tidak berani melawan. Ia ketakutan dan ia pun pulang sambil menangis.
Keesokan harinya, Agung kembali ke Sungai Kertak. Setelah sampai, ia langsung memasang pancing dan mulai memancing. Hari ini ia berhasil memancing, Ia mendapatkan ikan yang sangat banyak. Ia kembali memasang umpan dan kembali melemparkan pancingnya. Umpannya selalu disambar ikan. Pada saat ia kembali melemparkan pancingnya, tiba-tiba pancingnya tersangkut. Ia pun langsung mengambil pancingannya yang tersangkut. Setelah itu, entah dari mana datangnya, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik berambut panjang yang sedang mandi di muara.
“Agung, ke mari,” teriak si gadis itu.
Mendengar seorang wanita yang sangat cantik memanggil namanya, tentu saja Agung sangat senang. Segera ia mendekati si gadis.”
“Kita main-main dan mandi di sisni, yuk,” ajak si gadis.
Karena senangnya, Agung menurut saja ajakan si gadis dan hatinya tidak mungkin menolak. Tidak lama setelah itu, Agung tenggelam ditarik hantu air. Ternyata, gadis cantik yang mengajak Agung bermain tadi adalah hantu air.
Sementara itu, Ibu Agung yang menunggu kepulangan anaknya menjadi sangat cemas karena sampai sore dan hampir malam, anaknya belum pulang juga. Padahal, selama ini tidak pernah anaknya pulang sesore ini.
Ibu Agung tidak tinggal diam. Ia pun meminta bantuan seorang dukun untuk mencari anaknya. Semalaman Agung dicari, tetapi tidak berhasil. Pagi harinya Agung baru berhasil ditemukan. Agung ditemukan berada di dalam kumpai yang tebal. Dukun yang membantu memncari Agung langsung mengangkat Agung ke darat. Ternyata, Agung tidak bernyawa lagi. Ibu Agung berteriak histeris mengetahui anaknya tidak bernyawa lagi. Warga di sana pun turut merasakan kesedihan yang dialami ibu Agung. Warga di desa itu pun akhirnya sepakat memberi nama desa itu dengan nama Talang Sabrang (Tanjung Agung).
Saat ini Desa Tanjung Agung sudah cukup maju, sudah ada rumah-rumah walaupun jumlahnya tidak begitu banyak hingga sekarang. Kini Desa Tanjung Agung lebih dikenal dengan nama Desa Panji Sabrang.
“Baik Tuanku, hamba berangkat.”
Berangkatlah hulubalang raja untuk mencari pemuda bernama Panji. Setelah lama berjalan, akhirnya hulubalang raja berhasil menemukan Panji dan membawanya ke hadapan raja. “Duli Tuanku, hamba Panji datang menghadap” “Benar kau pemuda yang telah berani melawan setiap terjadi perampokan?” Tanya sang raja.
“Benar Tuanku,” Jawab Panji
“Aku telah mendengar keberanianmu dan kesaktianmu. Untuk itu, sekarang engkau kuangkat menjadi panglima perang kerajaan.” “Hamba dengan senang hati menerima tugas yang Tuan berikan pada hamba.”
''Aku juga akan memberikan puteriku yang cantik ini sebagai istrimu”.
“Terima kasih, Tuan,” jawab Panji terbata-bata karena tidak menyangka raja memberinya sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah terbesit dalam hatinya.
Panji pun diangkat sebagai panglima perang dan dinikahkan dengan putri raja.
Di bawah pimpinan Panji, negeri itu menjadi makmur dan terkenal akan kekuatannya. Perampok dan pemberontak ditumpas habis, sehingga negeri itu menjadi sejahtera. Setiap ada peperangan, Panji selalu berada di barisan terdepan.
Karena jasa besar Panji, raja akhirnya mengubah nama negeri mereka menjadi Pangkalan Panji. Nama pangkalan di ambil dari pelabuhan dagang kerajaan yang merupakan pangkalan kerajaan yang telah menjadikan negeri itu sejahtera. Panji dan istrinya hidup bahagia.
5. ASAL USUL PANGKALAN PANJI
Dahulu kala di sebuah hutan belantara, tinggallah seorang pemuda yang sangat tampan dan baik hati. Pemuda itu tinggal bersama kakeknya di dalam rumah yang sangat sederhana yang beratap daun rumbia, dan berdinding papan. Kedua orang tuannya telah tiada. Kakeknyalah yang merawatnya sejak kecil. Pemuda itu bernama Panji. Sang kakek memiliki ilmu bela diri dan juga memiliki kesaktian. Di bawah asuhan sang kakek, Panji diajarkan ilmu bela diri. Ia juga diajarkan hidup disiplin dan tidak sombong sebagai manusia. Bahkan, semua kesaktian yang dimiliki sang kakek pun diturunkannya kepada Panji karena sang kakek yakin Panji tidak akan menyalahgunakan ilmu yang telah diberikannya. Seiring bertambahnya waktu, Panji semakin mantap dengan ilmu yang diberikan sang kakek dan ia telah menguasai semua ilmu yang diajarkan sang kakek.
Seiring bertambahnya waktu, Kakek pun semakin bertambah umurnya. Tubuhnya semakin renta dan pandangannya pun sudah kabur dan sakit-sakitan.Hari itu sang kakek memanggil Panji.
“Panji cucuku, kemarilah!”
“Iya, Kek. Aku di sini.” Panji mendekat dan memegang tubuh kakek.
“Panji cucuku, kakek sudah tua dan tidak ada lagi yang bisa kakek berikan kepadamu, mungkin umur kakek tinggal sebentar lagi.”
“Kakek!” ucap Panji dengan lirih.
“Kakek minta semua yang telah kakek berikan dapat kau gunakan dengan sebaiknya, jangan disalahgunakan.”
“Kek!” ucap Panji mencoba menahan emosi
“Setelah kakek tiada, pergilah ke kota, carilah pekerjaan dan hiduplah dengan uang hasil jerih payahmu. Akan tetapi, ingatlah, di kota banyak orang-orang jahat. Jagalah dirimu, jangan sampai engkau ikut-ikutan seperti mereka, tegakkanlah keadilan di sana!”
“Iya Kek, saya berjanji.” Jawab Panji mencoba meyakinkan kakeknya walaupun hatinya sangat sedih.
Tidak lama setelah kejadian itu, sang kakek meninggalkan Panji untuk selama-lamanya. Panji tak kuasa menahan air mata dan kesedihannya. Ia merasa sendiri. Setelah memakamkan kakeknya, ia pun melaksanakan pesan terakhir kakeknya.Ia tinggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke kota.
Setelah lama berjalan, sampailah ia di kota. Ia pun bekerja dan tinggal di sana. Ia pun membuktikan sendiri ternyata apa yang disampaikan sang kakek memang benar. Perampok sangat sering terjadi. Saat melihat perampok beraksi, Panji langsung memberantasnya. Karena keberaniannya, Panji menjadi terkenal sebagai pemuda misterius yang berani melawan kejahatan. Keberanian Panji melawan kejahatan sampailah ke telinga sang sang raja. Raja pun menyuruh pengawalnya untuk mencari Panji. “Hulubalangku, ke marilah!”“Duli Tuanku” jawab hulubalang.
“Segeralah kau Pergi mencari pemuda yang bernama Panji. Kudengar ia memiliki kesaktian yang tinggi dan bawalah ia menghadapku.”
“Baik Tuanku, hamba berangkat.”
Berangkatlah hulubalang raja untuk mencari pemuda bernama Panji. Setelah lama berjalan, akhirnya hulubalang raja berhasil menemukan Panji dan membawanya ke hadapan raja. “Duli Tuanku, hamba Panji datang menghadap” “Benar kau pemuda yang telah berani melawan setiap terjadi perampokan?” Tanya sang raja.
“Benar Tuanku,” Jawab Panji
“Aku telah mendengar keberanianmu dan kesaktianmu. Untuk itu, sekarang engkau kuangkat menjadi panglima perang kerajaan.” “Hamba dengan senang hati menerima tugas yang Tuan berikan pada hamba.”
“Aku juga akan memberikan puteriku yang cantik ini sebagai istrimu”.
“Terima kasih, Tuan,” jawab Panji terbata-bata karena tidak menyangka raja memberinya sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah terbesit dalam hatinya.
Panji pun diangkat sebagai panglima perang dan dinikahkan dengan putri raja.
Di bawah pimpinan Panji, negeri itu menjadi makmur dan terkenal akan kekuatannya. Perampok dan pemberontak ditumpas habis, sehingga negeri itu menjadi sejahtera. Setiap ada peperangan, Panji selalu berada di barisan terdepan.
Karena jasa besar Panji, raja akhirnya mengubah nama negeri mereka menjadi Pangkalan Panji. Nama pangkalan di ambil dari pelabuhan dagang kerajaan yang merupakan pangkalan kerajaan yang telah menjadikan negeri itu sejahtera. Panji dan istrinya hidup bahagia.
6.PUYANG PERAHU KAWAH
Pada zaman dahulu, di masa penjajahan Belanda, di hulu sungai Musi terdapat sebuah kampung yang penduduknya telah beragama Islam. Kampung itu bernama Benakat. Di kampung itu hiduplah satu keluarga ketib (tokoh agama Islam). Keluarga ketib ini memiliki satu anak perempuan yang beranjak dewasa bernama Ayu yang sangat cantik jelita. Suatu hari lewatlah seorang opsir Belanda di kampung Benakat. Secara kebetulan opsir bertemu Ayu. Melihat kecantikan Ayu, opsir langsung tertarik.
Pada zaman dahulu, di masa penjajahan Belanda, di hulu sungai Musi terdapat sebuah kampung yang penduduknya telah beragama Islam. Kampung itu bernama Benakat. Di kampung itu hiduplah satu keluarga ketib (tokoh agama Islam). Keluarga ketib ini memiliki satu anak perempuan yang beranjak dewasa bernama Ayu yang sangat cantik jelita.
“Alangkah cantiknya gadis ini. Gadis secantik ini tidak akan akan aku sia-siakan. Aku harus mendapatkan gadis ini,” katanya dalam hati.
Mengetahui Ayu anak seorang ketib, datanglah opsir Belanda kepada ketib. Dengan percaya diri yang tinggi, ia langsung mengemukakan maksud kedatangannya, yakni untuk meminang Ayu dan akan dijadikan selir. Opsir tidak mengetahui bahwa ketib sangat membenci Belanda. Pinangan opsir, langsung ditolak oleh ketib. Akibatnya, opsir Belanda menjadi marah besar. Ia mengancam dengan menggunakan kekuasaannya. Isi ancamannya sangat membuat hati kecut siapa pun yang mendengarnya. Opsir memberi batas waktu kepada ketib untuk mempertimbangkan lamarannya. Bila batas waktu yang ditentukan, ketib masih tetap menolak pinangannya, opsir mengancam akan membunuh semua keluarga ketib, tanpa kecuali.
Demi keselamatan keluarganya, sebelum batas waktu yang ditentukan tiba, pergilah ketib bersama keluarganya meninggalkan kampung Benakat. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ketib membawa istri dan anaknya Ayu menaiki sebuah kawah besar yang terbuat dari besi (wajan besi untuk memasak nasi) sebagai perahu. Kawah tersebut terus hanyut hingga ke hilir mengikuti arus Sungai Musi.
Beberapa hari lamanya terombang- ambing mengikuti arus sungai, terdamparlah mereka di sebuah hutan di pinggiran Sungai Musi. Karena diangggap aman, menetaplah mereka di hutan tersebut. Hutan tersebut belum ada penghuninya. Pada saat itu hidup mengasingkan diri seperti yang mereka lakukan disebut ngelebung. Suatu hari tersesatlah seorang pemuda dan tiba di tempat tinggal ketib. Pemuda tersebut berasal dari Palembang. Ia melarikan diri dari kejaran Belanda. Ia pun menetap di tempat tersebut hingga bertahun-tahun.
Setelah beberapa tahun mengenal Ayu dan keluarganya, pemuda tersebut memberanikan diri melamar Ayu. Lamarannya diterima dengan senang hati oleh keluarga ketib. Pernikahan pun dilaksanakan. Dari pernikahan mereka lahirlah cucu-cucu ketib, yaitu empat orang anak laki-laki yang bernama Urip, Sirah, Waras, dan Teladan, serta satu perempuan yang bernama Untung.
Setelah cucunya beranjak dewasa, ketib memerintahkan keempat cucunya yang laki-laki untuk pergi dari Ngelebung dan merantau, mencari penghidupan ke tempat lain. Semua cucunya melaksanakan perintah kakeknya. Urip pergi ke arah utara, Sirah ke arah barat, Teladan menyelusuri sungai menuju ke hulu, yaitu ke arah Desa Rantau Bayur, dan Waras juga menyelusuri ke hulu, yaitu ke arah Sungai Keruh Musi Banyuasin. Cucu perempuan satu-satunya, yaitu Untung tetap tinggal dan menemukan jodohnya di tempat tersebut.
Untung dan suaminya memperluas wilayah tempat tinggal mereka sampai ke suatu sungai yang diberi nama Rimba Bulian. Sejak itulah tempat yang menjadi tempat tinggal Ketib dan keluarganya dinamakan Ngelebung. Lama-kelamaan penduduk Ngelebung bertambah banyak dan berkembanglah menjadi sebuah kampung yang akhirnya menjadi sebuah dusun bernama Lebung. Dusun Lebung sekarang lebih dikenal dengan nama Desa Lebung. Karena kesaktian ketib membuat kawah menjadi perahu sebagai kendaraan, ia kemudian dikenal dengan sebutan “Puyang Perahu Kawah
7.PUTRI LILIN
ZAMAN dahulu di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri. Istrinya sedang mengandung anak pertama mereka. Suatu hari suaminya hendak pergi ke dusun seberang.
ZAMAN dahulu di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri. Istrinya sedang mengandung anak pertama mereka. Suatu hari suaminya hendak pergi ke dusun seberang.
“Dek, aku nak pegi ke dusun seberang. Aku nak bepesan dengan kau,” ucap suaminya
“Ape Kak pesannya tuh?”
“Agek, kalu anak kite lahir jantan kau peliharalah die beek-beek, tapi kalu lahir betine cepat-cepatlah kau kubur die di bawah tangge. Sikok lagi Dek pesanku, lelen (lilin) yang aku tinggalke jangan kau makan!”
“Ngape Kak, mak itu nian?”
“Udelah dak usah banyak nanye.
“Men cak itu, iyo kak aku janji.”
Setelah menyampaikan pesan yang terdengar sangat aneh, suaminya pun pergi. Sepeninggal suaminya, istrinya kembali mengingat pesan yang telah disampaikan suaminya.
Suatu pagi ia sangat ingin makan lilin, tetapi ia ingat pesan suaminya. Ia tidak berani melawan pesan suaminya. Akan tetapi, entah mengapa keinginan dalam dirinya sangat kuat memaksa ia agar memakan lilin. Ia pun memakan lilin yang ditinggalkan suaminya.
Setelah cukup usia kandungannya, istrinya melahirkan. Ternyata, ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia memberi nama anaknya Putri Lelen. Ia langsung ingat pesan suaminya. Tentu saja sebagai ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan anaknya, tidak mungin ia tega membunuh dan mengubur anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Untuk menyelamatkan anaknya, ia membangun sebuah mahligai. Diletakkannya anaknya di atas mahligai. Sekian lama tumbuhlah Putri Lelen menjadi gadis yang cantik.
Suatu hari suaminya pulang dari merantau. Ketika pulang, ia langsung menanyakan anaknya .
“Dek, cak mane dengan anak kite?”
“Cak kate kakak. Men lahirnya betine, langsung dikuburke di bawah tangge. Jadi, anak kite sudem kukuburke,” ucap istrinya gugup.
“Lelen yang kutinggalke, mane?”
“Ade kak, aku simpan.”
Mendengar jawaban istrinya, legalah hati suaminya. Ia pun masuk ke dalam dan beristiahat.
Suatu hari saat suaminya sedang beristirahat di depan rumah, tiba-tiba datanglah seekor gagak. Gagak sangat sakit hati dengan istrinya karena ia tidak pernah diberi makan. Istrinya mempunyai kebiasaan suka memberi makan burung-burung. Ia tidak tahu kalau burung gagak tidak pernah kebagian makanan. Burung gagak pun bertembang,
“Gak gak bute,
burung benyak diberek makan.
Gagak sikok ketinggalan,
Putri lelen di atas mahligai”
Berkali-kali burung gagak bertembang dan didengarlah oleh suaminya. Suaminya langsung memanggil istrinya.
“Oi Dek, jadi, selame ini kau mbudike aku. Putriku maseh idop. Sekarang suruh die turun dari atas mahligai,” hardik suaminya dengan marah.
Karena takut, istrinya menuruti kehendak suaminya. Dia pun memanggil anaknya sambil nangis dan bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak bebaju.” Jawab Putri Lelen.
Ibunya kembali bertembang meminta anaknya turun.
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak beseser,” Jawab putrinya.
Ibunya kembali bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
Setelah selesai perpakaian dan berisir, turunlah Putri Lelen dari atas mahligai.
“Oi Nak, Mak minta maaf ye. Bakmu tak senang dengan kau. Umak dak pacak nak nak nolong.”
“Iye Mak, aku ikhlas asakke Bak pacak senang ati.”
“Nak kau turun ke kawah itu. Bakmu nak meleburmu jedi lelen.”
Berjalanlah Putri lelen menuju kawah sambil menangis. Perlahan ia memasukkan dirinya ke dalam kawah. Ia pun bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas lututku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas lutut. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas pinggangku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas pinggang. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas palakku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas kepala. Badan Putri pun semakin hancur hingga yang tersisa rambutnya. Melihat tubuh anaknya sudah hancur ibunyapun tidak tega dan segera menyusul. Ia menyusul anaknya masuk ke dalam kawah. Berubahlah ibu dan anak menjadi dua batang lilin.
Melihat anak dan istrinya telah berubah menjadi lelen, suaminya pun menyesal. Apa boleh buat. Anak dan istrinya tidak mungkin berubah lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
“Ape Kak pesannya tuh?”
“Agek, kalu anak kite lahir jantan kau peliharalah die beek-beek, tapi kalu lahir betine cepat-cepatlah kau kubur die di bawah tangge. Sikok lagi Dek pesanku, lelen (lilin) yang aku tinggalke jangan kau makan!”
“Ngape Kak, mak itu nian?”
“Udelah dak usah banyak nanye.
“Men cak itu, iyo kak aku janji.”
Setelah menyampaikan pesan yang terdengar sangat aneh, suaminya pun pergi. Sepeninggal suaminya, istrinya kembali mengingat pesan yang telah disampaikan suaminya.
Suatu pagi ia sangat ingin makan lilin, tetapi ia ingat pesan suaminya. Ia tidak berani melawan pesan suaminya. Akan tetapi, entah mengapa keinginan dalam dirinya sangat kuat memaksa ia agar memakan lilin. Ia pun memakan lilin yang ditinggalkan suaminya.
Setelah cukup usia kandungannya, istrinya melahirkan. Ternyata, ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia memberi nama anaknya Putri Lelen. Ia langsung ingat pesan suaminya. Tentu saja sebagai ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan anaknya, tidak mungin ia tega membunuh dan mengubur anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Untuk menyelamatkan anaknya, ia membangun sebuah mahligai. Diletakkannya anaknya di atas mahligai. Sekian lama tumbuhlah Putri Lelen menjadi gadis yang cantik.
Suatu hari suaminya pulang dari merantau. Ketika pulang, ia langsung menanyakan anaknya .
“Dek, cak mane dengan anak kite?”
“Cak kate kakak. Men lahirnya betine, langsung dikuburke di bawah tangge. Jadi, anak kite sudem kukuburke,” ucap istrinya gugup.
“Lelen yang kutinggalke, mane?”
“Ade kak, aku simpan.”
Mendengar jawaban istrinya, legalah hati suaminya. Ia pun masuk ke dalam dan beristiahat.
Suatu hari saat suaminya sedang beristirahat di depan rumah, tiba-tiba datanglah seekor gagak. Gagak sangat sakit hati dengan istrinya karena ia tidak pernah diberi makan. Istrinya mempunyai kebiasaan suka memberi makan burung-burung. Ia tidak tahu kalau burung gagak tidak pernah kebagian makanan. Burung gagak pun bertembang,
“Gak gak bute,
burung benyak diberek makan.
Gagak sikok ketinggalan,
Putri lelen di atas mahligai”
Berkali-kali burung gagak bertembang dan didengarlah oleh suaminya. Suaminya langsung memanggil istrinya.
“Oi Dek, jadi, selame ini kau mbudike aku. Putriku maseh idop. Sekarang suruh die turun dari atas mahligai,” hardik suaminya dengan marah.
Karena takut, istrinya menuruti kehendak suaminya. Dia pun memanggil anaknya sambil nangis dan bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak bebaju.” Jawab Putri Lelen.
Ibunya kembali bertembang meminta anaknya turun.
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
“Iye, Mak, Agek aku nak beseser,” Jawab putrinya.
Ibunya kembali bertembang,
“Turun emas turun dayang
Turun anakku putri lelen.
Ebakmu endak lelennye
Asal lelen balik lelen.”
Setelah selesai perpakaian dan berisir, turunlah Putri Lelen dari atas mahligai.
“Oi Nak, Mak minta maaf ye. Bakmu tak senang dengan kau. Umak dak pacak nak nak nolong.”
“Iye Mak, aku ikhlas asakke Bak pacak senang ati.”
“Nak kau turun ke kawah itu. Bakmu nak meleburmu jedi lelen.”
Berjalanlah Putri lelen menuju kawah sambil menangis. Perlahan ia memasukkan dirinya ke dalam kawah. Ia pun bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas lututku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas lutut. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas pinggangku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas pinggang. Ia pun kembali bertembang,
“Ancurlah badan ancur binase
Ancurlah badanku jadi lelen
Ancurlah badan batas palakku.”
Hancurlah badan Putri Lelen sebatas kepala. Badan Putri pun semakin hancur hingga yang tersisa rambutnya. Melihat tubuh anaknya sudah hancur ibunyapun tidak tega dan segera menyusul. Ia menyusul anaknya masuk ke dalam kawah. Berubahlah ibu dan anak menjadi dua batang lilin.
Melihat anak dan istrinya telah berubah menjadi lelen, suaminya pun menyesal. Apa boleh buat. Anak dan istrinya tidak mungkin berubah lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
a takut dimakan nenek gergasi karena mereka tahu nenek gergasi akan memakan hati mereka ketika hati mereka sudah membesar.
“Kau masak banyu dan kau ecak-ecak ngembek suri di bawah. Kagek aku nyari tumo,” ujar nak pertama meberi tugas kepada adik-adiknya. Kedua adiknya setuju usul kakaknya.
Tiba waktunya, rencana pun dilaksanakan. Sesuai rencana, anak ketiga memasak air dan anak kedua menjatuhkan sisir ke tanah.
“Nek, aku nak ngambek suri nyampak,”
Sampai di bawah anak kedua menarik rambut nenek gergasi yang terselip di sela-sela papan. Anak ketiga nenyiram air panas yang telah dimasak ke tubuh nenek gergasi. Nenek gergasi pun meninggal.
Setelah nenek gergasi meninggal, mereka bertiga tetap tinggal di rumah nenek gergasi.
8. TIGE BONGKOL
Zaman dahulu di sebuah desa tinggallah satu keluarga. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya. Suatu hari sang ayah pulang membawa sedikit ketan. Sang ayah meminta istrinya agar ketan yang dibawanya dibuat bongkol (lepet) karena ia sangat ingin memakan bongkol.
Zaman dahulu di sebuah desa tinggallah satu keluarga. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya. Suatu hari sang ayah pulang membawa sedikit ketan. Sang ayah meminta istrinya agar ketan yang dibawanya dibuat bongkol (lepet) karena ia sangat ingin memakan bongkol.
Ketika suaminya pergi ke sawah, sesuai permintaan, ibu membuat bongkol ketan. Karena ketannya sangat sedikit, bongkol yang dibuat hanya jadi tiga buah bongkol. Setelah matang, bongkol tersebut disimpannya dalam lemari.
Ketika anaknya pertamanya terbangun dari tidur, ia langsung menuju ke dapur karena ia mencium aroma yang sedap dari dapur. Ia mencium aroma bongkol.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak,” jawab ibu. Ibu berbohong karena bongkol yang dibuatnya untuk ayahnya.
“Mak, minta bongkol!”
“Tak katek, Nak,” jawab ibunya kembali berbohong.
Anaknya tidak percaya dan menangis meminta bongkol. Karena tidak tega, ibunya pun memberikan anak pertamanya satu bongkol.
“Tapi, jangan ngomong dengan adekmu, ye!” pesan ibuya sebelum anak pertamanya pergi. Setelah sampai di kamar, si kakak melihat adik keduanya bangun.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar kakaknya.
Mendengar kata-kata kakaknya, anak kedua tersebut langsung pergi ke dapur menemui ibunya.
“Mak, aku nak bongkol,”
“Tak katek , nak,”
Anak kedua pun menangis karena tidak diberi bongkol. Tidak tega melihat anaknya menangis, si ibu pun memberi anak keduanya bongkol.
“Setengah bae ye, nak,” jawab ibu sambil memberikan separuh bongkol. Akan tetapi, anak keduanya tetap menangis. Ibu pun terpaksa memberikan satu bongkol.
“Jangan ngomong dengan adekmu, ye,” pesan ibunya sebelum anak kedua itu pergi. Setelah sampai di kamar, anak kedua memberi tahu kepada adiknya.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar anak kedua pada anak ketiga. Mendengar kata-kata kakaknya, ia langsung pergi menemui ibunya.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak.”
Anak ketiga pun menangis. Karena tidak tega ibu kembali memberi anaknya bongkol.
“Nak setengah bae, ye. Agek bakmu marah,”
Anak ketiganya tidak mau dan terus menangis. Ibunya pun akhirnya memberikan bongkol terakhir kepada anak ketiganya.
Pulang dari sawah sang ayah langsung menanyakan bongkol yang dibuat istrinya. Istrinya memberitahu dengan sangat hati-hati dan memohon maaf karena bongkol yang dibuatnya telah dimakan ketiga anak mereka. Sang ayah sangat marah. Karena dikuasai kemarahannya, ayah itu berniat dalam hati untuk membunuh anaknya.
“Nak, payo tobo ke utan,” ajak si ayah kepada ketiga anaknya. Ketiga anaknya sangat senang diajak ke hutan. Tidak lupa ayahnya membawa cangkul.
“Bak, nak nanam ape?” tanya ketiga anaknya.
“Nak nanam manggo,” jawab ayah.
Tiba di hutan, ayahnya langsung menggali lubang yang sangat besar dan dalam. Selesai digali. sang ayah menyuruh ketiga anaknya berbaris mengadap lubang. Tiba-tiba, ayahnya mendorong ketiga anaknya ke dalam lubang dan langsung menimbunnya dengan tanah. Setelah itu, sang ayah pulang ke rumah meninggalkan ketiga anaknya yang telah terkubur.
Ternyata, anak ketiganya membawa pisau. Tanah itu pun mereka tusuk-tusuk menggunakan pisau hingga berlubang. Dari lubang yang mereka buat mereka bertiga berhasil keluar. Mereka tidak berani pulang karena takut takut dimarahi ayah mereka.
Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan hingga mereka menemukan satu pondok. Merasa sangat kelelahan, mereka menghampiri pondok tersebut. Mereka berkenalan dengan pemilik pondok. Ternyata, pondok tersebut milik nenek gergasi (raksasa).
“Boleh tak kamek numpang di sini, Nek?” tanya ketiga anak iu.
“Boleh, tapi harus nyari tumo nenek.”
Mereka pun tinggal bersama nenek gergasi. Setiap hari mereka harus mencari kutu di kepala nenek. Mereka menggunakan palu dan paku sewaktu mencari kutu di kepala nenek karena kutu nenek bukan kutu biasa, melainkan kelabang dan rambut nenek bukanlah rambut biasa, melainkan kawat.
Setiap malam ketiga anak itu selalu ditanya nenek, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak pertama.
Mendengar jawaban anak pertama, nenek gergasi beralih ke anak kedua, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,’ jawab anak kedua.
Setelah itu nenek beralih ke anak ketiga, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak ketiga. Jawaban yang diberi anak ketiga diberitahu kedua kakaknya.
Siang itu anak pertama mengajak kedua adiknya untuk membunuh nenek gergasi. Mereka tidak tahan ditanyai setiap malam. Mereka juga takut dimakan nenek gergasi karena mereka tahu nenek gergasi akan memakan hati mereka ketika hati mereka sudah membesar.
“Kau masak banyu dan kau ecak-ecak ngembek suri di bawah. Kagek aku nyari tumo,” ujar nak pertama meberi tugas kepada adik-adiknya. Kedua adiknya setuju usul kakaknya.
Tiba waktunya, rencana pun dilaksanakan. Sesuai rencana, anak ketiga memasak air dan anak kedua menjatuhkan sisir ke tanah.
“Nek, aku nak ngambek suri nyampak,”
Sampai di bawah anak kedua menarik rambut nenek gergasi yang terselip di sela-sela papan. Anak ketiga nenyiram air panas yang telah dimasak ke tubuh nenek gergasi. Nenek gergasi pun meninggal.
Setelah nenek gergasi meninggal, mereka bertiga tetap tinggal di rumah nenek gergasi.
Ketika anaknya pertamanya terbangun dari tidur, ia langsung menuju ke dapur karena ia mencium aroma yang sedap dari dapur. Ia mencium aroma bongkol.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak,” jawab ibu. Ibu berbohong karena bongkol yang dibuatnya untuk ayahnya.
“Mak, minta bongkol!”
“Tak katek, Nak,” jawab ibunya kembali berbohong.
Anaknya tidak percaya dan menangis meminta bongkol. Karena tidak tega, ibunya pun memberikan anak pertamanya satu bongkol.
“Tapi, jangan ngomong dengan adekmu, ye!” pesan ibuya sebelum anak pertamanya pergi. Setelah sampai di kamar, si kakak melihat adik keduanya bangun.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar kakaknya.
Mendengar kata-kata kakaknya, anak kedua tersebut langsung pergi ke dapur menemui ibunya.
“Mak, aku nak bongkol,”
“Tak katek , nak,”
Anak kedua pun menangis karena tidak diberi bongkol. Tidak tega melihat anaknya menangis, si ibu pun memberi anak keduanya bongkol.
“Setengah bae ye, nak,” jawab ibu sambil memberikan separuh bongkol. Akan tetapi, anak keduanya tetap menangis. Ibu pun terpaksa memberikan satu bongkol.
“Jangan ngomong dengan adekmu, ye,” pesan ibunya sebelum anak kedua itu pergi. Setelah sampai di kamar, anak kedua memberi tahu kepada adiknya.
“Dek, mak ade bongkol,” ujar anak kedua pada anak ketiga. Mendengar kata-kata kakaknya, ia langsung pergi menemui ibunya.
“Mak, ade bongkol, ye?”
“Tak katek, nak.”
Anak ketiga pun menangis. Karena tidak tega ibu kembali memberi anaknya bongkol.
“Nak setengah bae, ye. Agek bakmu marah,”
Anak ketiganya tidak mau dan terus menangis. Ibunya pun akhirnya memberikan bongkol terakhir kepada anak ketiganya.
Pulang dari sawah sang ayah langsung menanyakan bongkol yang dibuat istrinya. Istrinya memberitahu dengan sangat hati-hati dan memohon maaf karena bongkol yang dibuatnya telah dimakan ketiga anak mereka. Sang ayah sangat marah. Karena dikuasai kemarahannya, ayah itu berniat dalam hati untuk membunuh anaknya.
“Nak, payo tobo ke utan,” ajak si ayah kepada ketiga anaknya. Ketiga anaknya sangat senang diajak ke hutan. Tidak lupa ayahnya membawa cangkul.
“Bak, nak nanam ape?” tanya ketiga anaknya.
“Nak nanam manggo,” jawab ayah.
Tiba di hutan, ayahnya langsung menggali lubang yang sangat besar dan dalam. Selesai digali. sang ayah menyuruh ketiga anaknya berbaris mengadap lubang. Tiba-tiba, ayahnya mendorong ketiga anaknya ke dalam lubang dan langsung menimbunnya dengan tanah. Setelah itu, sang ayah pulang ke rumah meninggalkan ketiga anaknya yang telah terkubur.
Ternyata, anak ketiganya membawa pisau. Tanah itu pun mereka tusuk-tusuk menggunakan pisau hingga berlubang. Dari lubang yang mereka buat mereka bertiga berhasil keluar. Mereka tidak berani pulang karena takut takut dimarahi ayah mereka.
Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan hingga mereka menemukan satu pondok. Merasa sangat kelelahan, mereka menghampiri pondok tersebut. Mereka berkenalan dengan pemilik pondok. Ternyata, pondok tersebut milik nenek gergasi (raksasa).
“Boleh tak kamek numpang di sini, Nek?” tanya ketiga anak iu.
“Boleh, tapi harus nyari tumo nenek.”
Mereka pun tinggal bersama nenek gergasi. Setiap hari mereka harus mencari kutu di kepala nenek. Mereka menggunakan palu dan paku sewaktu mencari kutu di kepala nenek karena kutu nenek bukan kutu biasa, melainkan kelabang dan rambut nenek bukanlah rambut biasa, melainkan kawat.
Setiap malam ketiga anak itu selalu ditanya nenek, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak pertama.
Mendengar jawaban anak pertama, nenek gergasi beralih ke anak kedua, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,’ jawab anak kedua.
Setelah itu nenek beralih ke anak ketiga, “Besak ape tak cucur atimu?”
“Kecik, Nek,” jawab anak ketiga. Jawaban yang diberi anak ketiga diberitahu kedua kakaknya.
Siang itu anak pertama mengajak kedua adiknya untuk membunuh nenek gergasi. Mereka tidak tahan ditanyai setiap malam. Mereka juga takut dimakan nenek gergasi karena mereka tahu nenek gergasi akan memakan hati mereka ketika hati mereka sudah membesar.
“Kau masak banyu dan kau ecak-ecak ngembek suri di bawah. Kagek aku nyari tumo,” ujar nak pertama meberi tugas kepada adik-adiknya. Kedua adiknya setuju usul kakaknya.
Tiba waktunya, rencana pun dilaksanakan. Sesuai rencana, anak ketiga memasak air dan anak kedua menjatuhkan sisir ke tanah.
“Nek, aku nak ngambek suri nyampak,”
Sampai di bawah anak kedua menarik rambut nenek gergasi yang terselip di sela-sela papan. Anak ketiga nenyiram air panas yang telah dimasak ke tubuh nenek gergasi. Nenek gergasi pun meninggal.
Setelah nenek gergasi meninggal, mereka bertiga tetap tinggal di rumah nenek gergasi.
9. PUTRI BIYUKU
Pada zaman dahulu, di sebuah hutan berdirilah sebuah kerajaan yang sangat megah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang selalu bertindak semena-mena. Ia selalu berbuat tidak adil dan senantiasa mementingkan dirinya sendiri. Karena itu, rakyat sangat membenci rajanya. Akan tetapi, dia mempunyai isteri yang sangat baik hati dan selalu patuh pada perintahnya. Sang istri memahami bahwa raja bersikap dan berperilaku buruk dikarenakan raja sangat menginginkan keturunan. Setelah sekian lama menikah, mereka belum dikaruniai anak satu pun. Istrinya merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya.
Pada zaman dahulu, di sebuah hutan berdirilah sebuah kerajaan yang sangat megah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang selalu bertindak semena-mena. Ia selalu berbuat tidak adil dan senantiasa mementingkan dirinya sendiri. Karena itu, rakyat sangat membenci rajanya. Akan tetapi, dia mempunyai isteri yang sangat baik hati dan selalu patuh pada perintahnya. Sang istri memahami bahwa raja bersikap dan berperilaku buruk dikarenakan raja sangat menginginkan keturunan. Setelah sekian lama menikah, mereka belum dikaruniai anak satu pun. Istrinya merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya.
Suatu hari istri raja jatuh sakit. Raja begitu mencemaskan keadaan isteri karena ia sangat mencintai istrinya. Raja pun memanggil tabib kerajaan untuk memeriksa istrinya. Setelah memeriksa keadaan istri raja, tabib kerajaan mengucapkan selamat kepada Raja. Ternyata, istri raja tidak sakit, melainkan sedang hamil. Raja begitu terkejut mendengar kehamilan istrinya. Tentu saja raja menjadi sangat senang karena dia akan mempunyai keturunan. Raja merayakan kegembiraannya dengan mengadakan pesta besar-besaran bersama rakyatnya. Semua orang bahagia dalam pesta itu.
Selama Istrinya hamil, raja semakin menyayangi istrinya. Hampir setiap hari raja memegang perut istrinya. Ia seakan tidak sabar menanti kelahiran anaknya dan ia sangat menginginkan anak laki-laki. Semua persiapan untuk kelahiran dipersiapkan oleh dayang-dayang kerajaan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Semua rakyat berkumpul untuk menyaksikan calon pemimpin mereka. Raja begitu terkejut dan kecewa bahwa yang lahir adalah perempuan dan bukan laki-laki, tetapi raja tidak ingin merusak kebahagian istri dan rakyatnya. Raja menyadari harus bersyukur walaupun anak yang dilahirkan istrinya tidak seperti yang diinginkannya selama ini. Raja menamai anak perempuannya Putri Biyuku. Putri Biyuku artinya putri kura-kura karena pada saat putri dilahirkan muncul segerombolan kura-kura yang sangat besar di luar istana. Kura-kura itu ikut menanti kelahiran Putri Biyuku. Setelah Putri Biyuku lahir, segerombolan kura-kura itu pun pergi meninggalkan kerajaan.
Setelah anaknya lahir, sikap dan perilaku raja berubah. Raja itu menjadi yang adil, bijaksana, dan selalu mementingkan kemakmuran rakyatnya. Perubahan sikap raja itu disebabkan ia telah dikaruniai keturunan yang sangat cantik jelita. Putri Biyuku sangat dimanja oleh kedua orangtuanya.
Seiring bertambahnya waktu, Putri Biyuku tumbuh menjadi gadis remaja. Tidak disangka-disangka, Putri Biyuku mewarisi sifat-sifat buruk ayahnya. Raja juga tidak tinggal diam, dia terus berusaha agar anaknya dapat mengubah sifat buruknya.
Suatu hari raja membuat sayembara untuk mencarikan jodoh anaknya. Raja berharap Putri Biyuku akan mengubah sifatnya. Banyak laki-laki yang mengikuti seyembara tersebut. Akan tetapi, selain menolak, Putri Biyuku juga menghina semua laki-laki yang berminat dengannya. Hingga suatu hari datanglah seorang pemuda yang mukanya sangat buruk dan dari golongan orang miskin. Pemuda itu datang ke kerajaan untuk mengikuti sayembara. Perlakuan yang sama juga didapatkannya. Bukan hanya cacian tapi juga pukulan diterima oleh pemuda itu. Tiba-tiba sosok pemuda itu berubah jadi pemuda yang sangat tampan. Ternyata, pemuda itu adalah seorang pangeran yang sengaja turun ke bumi untuk menyadarkan Putri Biyuku atas semua perilaku buruknya. Perbuatan buruk Putri Biyuku tidak dimaafkan lagi. Pangeran pun menyihir Putri Biyuku menjadi kura-kura.
Raja sangat sedih melihat anak yang sangat disayanginya telah berubah menjadi kura-kura. Namun, apa daya, raja tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha mengikhlaskannya. Putri Biyuku pun pergi ke sungai yang ada di dalam hutan dan tidak kembali lagi untuk selama-lamanya. Karena begitu sayang dengan putrinya dan untuk mengenang Putri
kesayangannya, raja menamai hutan tempat putrinya tinggal dengan nama ”hutan Biyuku”. Karena raja tidak mempunyai keturunan untuk meneruskan kepemimpinannya, lambat laun kerajaan itu pun runtuh. Hutan Biyuku sekarang menjadi sebuah desa yang bernama Desa Biyuku. Desa Biyuku terletak di Kecamatan Suak Tapeh, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan
10. ASAL USUL DESA SIDANG MAS
Alkisah dahulu kala terdapat sebuah hutan di sekitar Sungai Musi. Pada waktu itu Nabi Muhammad belum dilahirkan ke muka bumi. Waktu itu makhluk hidup dapat berbicara seperti manusia. berjuta tahun tempat itu tidak dihuni manusia hanya dihuni hewan-hewan buas dan tentu saja liar.
Suatu hari sekelompok orang perantauan datang ke tempat tersebut. Mulanya mereka hanya bermaksud untuk sekedar melintas dan beristirahat sejenak. Saat mereka beristirahat, mereka dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sangat memukau. Tumpukan emas yang sangat banyak di hadapan mereka. Melihat emas yang sangat banyak itu, mereka seolah terhipnotis mendekat, mengamati, dan meraba emas-emas itu. Semua terpesona dan seolah tidak percaya. Seumur hidup belum pernah mereka melihat emas sebanyak itu.
Mereka semua kebingungan. Apa yang harus mereka lakukan terhadap emas itu? Dijual? Dipakai atau diamankan saja? Karena bingung tidak tahu emas tersebut mau diapakan dan karena takut terjadi perselisihan di antara mereka, mereka pun mengadakan sidang untuk membahas penggunaan emas tersebut.
“Saudara-saudara, kita berkumpul di sini bermaksud untuk merundingkan sesuatu yang sangat penting. Kalau tidak kita rundingkan, saya khawatir akan berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan kita semua,” ucap salah satu dari mereka memulai pembicaraan.
”Saudara-saudaraku, seperti telah kita ketahui bersama, kita hadir di tempat ini semula hanya untuk beristirahat. Kemudian kita mendapatkan sesuatu yang sangat mengejutkan, yakni setumpuk emas. Tumpukan emas ini tidak terhingga nilainya. Tumpukan emas ini tentunya sesuatu anugerah bagi kita semua kalau kita bisa mengelolahnya sedemikian rupa. Sekarang kita butuh kesepakatan bersama, mau kita apakan emas-emas ini,” lanjutnya.
”Saudara-saudaraku, seperti telah kita ketahui bersama, kita hadir di tempat ini semula hanya untuk beristirahat. Kemudian kita mendapatkan sesuatu yang sangat mengejutkan, yakni setumpuk emas. Tumpukan emas ini tidak terhingga nilainya. Tumpukan emas ini tentunya sesuatu anugerah bagi kita semua kalau kita bisa mengelolahnya sedemikian rupa. Sekarang kita butuh kesepakatan bersama, mau kita apakan emas-emas ini,” lanjutnya.
Selama sidang berlangsung, berbagai pendapat dan saran pun dikumpulkan. Akhirnya disepakati bahwa emas-emas itu didiamkan pada tempatnya.
“Saudaraku, terima kasih akhirnya kita bisa membuat keputusan yang bijak bahwa emas itu kita biarkan saja. Akan tetapi, kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Bisa saja emas ini diambil oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Saya punya usul, untuk menjaga emas ini, bagaimana kalau kita bermukim di sini. Selain menjaga emas ini, tempat ini juga memang layak untuk kita huni bersama. Saya yakin kehidupan kita akan lebih baik jika kita tinggal di sini.
“Saya setuju,’ jawab salah satu dari mereka.
“Saya setuju,’ jawab salah satu dari mereka.
“Saya juga setuju,” jawab yang lain.
“Kami setuju,” jawab beberapa peserta siding secara bersamaan.
Akhirnya disepakatilah bahwa mereka menetap di tempat tersebut.
Kehidupan mereka saat itu sangat unik. Mereka menanamkan jalan hidup yang sangat lurus. Sikap mereka sangat hebat, antara lain dalam hal menolong sesama, tidak mengganggu orang lain, dan menjaga kepentingan barsama. Sikap masyarakat tersebut sangat patut diacungi jempol.
Akhirnya disepakatilah bahwa mereka menetap di tempat tersebut.
Kehidupan mereka saat itu sangat unik. Mereka menanamkan jalan hidup yang sangat lurus. Sikap mereka sangat hebat, antara lain dalam hal menolong sesama, tidak mengganggu orang lain, dan menjaga kepentingan barsama. Sikap masyarakat tersebut sangat patut diacungi jempol.
Seiring dengan perjalanan waktu pemukiman itu terus dihuni oleh manusia hingga kini. Sampai sekarang orang meyakini bahwa emas itu masih ada. Akan tetapi, ada beberapa kepercayaan yang muncul. Pertama, mereka percaya hanya orang-orang yang memiliki tuah (kekuatan gaib) yang bisa melihatnya. Kedua, ada juga yang mengatakan bahwa emas itu sekarang terkubur di dalam tanah. Sebagai buktinya, saat ini setiap warga yang menggali sumur, mereka akan mendapatkan serbuk dan lempengan batu menyerupai emas.
Karena di tempat tersebut pernah terjadi persidangan emas, mereka sepakat memberi nama mereka tempat tinggal mereka dengan nama Sidang Emas. Desa Sidang Emas terdapat di Kecamatan Banyuasin III.
terima kasih
BalasHapussangat bermanfaat
ijin copas/share
kunjungi balik yah :) info7tujuh.blogspot.com
Maaf sebelumnya sumber cerita ny dapat dari mana ya
BalasHapusmakasih yuk, ini sumbernyo dr mano yuk?
BalasHapusMakasih, alhamdulillah selesai tugas
BalasHapusAssalamualaikum, kak mau tanya itu sumber ceritanya dapet dari mana yah?
BalasHapusIni cerita rakyat kak, biasa dikisahkan oleh orang tua ke anaknya dan sudah turun temurun dari generasi terdahulu, jadi memang tidak jelas sumber dan pencipta aslinya sehingga tidak perlu dicantumkan. Koreksi jika salah dan Semoga menjawab.
Hapus